*Waspada Infiltrasi yang Menggerus Akar NU*
Dalam dinamika organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), tak dapat dipungkiri bahwa selalu ada potensi kelompok-kelompok yang memanfaatkan keberadaannya untuk agenda tertentu. Salah satu kelompok yang kini menjadi sorotan adalah sebagian dari kalangan yang mengklaim nasab dari Hadramaut, yang oleh sebagian pengamat dianggap memiliki pengaruh yang tidak selaras dengan prinsip dasar NU.
Mereka hadir, hidup, dan tumbuh dalam lingkungan NU, namun bukan untuk menguatkan manhaj atau khidmah organisasi ini. Justru dalam beberapa kasus, langkah-langkah mereka memunculkan kekhawatiran atas potensi infiltrasi pemikiran dan agenda yang dapat mengaburkan arah perjuangan NU sebagai organisasi keagamaan dan kebudayaan yang berlandaskan Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.
Beberapa pengamat menyebut adanya indikasi aktivitas berikut:
1. Penyebaran ajaran yang tidak sejalan dengan prinsip Aswaja;
2. Glorifikasi berlebihan terhadap garis nasab tertentu yang tidak terverifikasi secara ilmiah;
3. Pelemahan wibawa ulama lokal dan kiai pesantren;
4. Upaya menarasikan sejarah secara sepihak, termasuk pemalsuan silsilah dan klaim atas makam-makam tokoh lokal;
5. Konfrontasi terbuka terhadap tokoh dan lembaga NU;
6. Keterlibatan dalam strategi politik yang dianggap tidak mencerminkan budaya politik NU yang santun dan mengakar.
Fenomena ini mengundang pertanyaan kritis dari banyak kalangan: apakah ini bentuk kecintaan terhadap NU, atau justru pemanfaatan kelembutannya untuk kepentingan tertentu?
NU sebagai rumah besar umat Islam Indonesia tentu terbuka bagi siapa pun yang tulus berkhidmat. Namun keterbukaan itu bukan tanpa batas. Ketika nilai-nilai dasar yang diwariskan oleh para muassis seperti Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari terancam oleh narasi-narasi yang tidak bertanggung jawab, maka sudah sewajarnya para warga Nahdliyyin meningkatkan kewaspadaan—dengan tetap menjunjung tinggi akhlak, ilmu, dan adab dalam menyikapi perbedaan.
Sebagaimana pesan para ulama terdahulu: cinta kepada NU bukan hanya tampak dari pengakuan dan pakaian, tapi dari ketulusan dalam menjaga manhaj dan kehormatan para kiai serta integritas sejarahnya.
—
*Catatan Tambahan: Fakta-Fakta Aktual*
1. Pemalsuan Sejarah NU oleh Lutfi bin Yahya
Salah satu kasus yang mendapat sorotan luas adalah klaim bahwa kakek dari Habib Lutfi bin Yahya, yaitu Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya, termasuk pendiri NU. Klaim ini tidak tercantum dalam dokumen resmi NU seperti Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dan tidak diakui secara historis. Forum Pejuang Walisongo menilai ini sebagai bentuk manipulasi sejarah. Bahkan, PBNU dikabarkan telah meminta penarikan buku yang mencantumkan klaim tersebut karena dinilai menyesatkan dan tidak sahih. ([Sumber: Republika, Suaranasional, YouTube])
2. Polemik Nasab Ba’alawi
Berbagai penelitian ilmiah dan genetik menunjukkan ketidakabsahan klaim sebagian kalangan Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Kajian yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani, serta penelitian genetik oleh Dr. Sugeng Sugiarto dan Prof. Michael Hammer, memperlihatkan bahwa haplogroup mereka berbeda dari garis keturunan Nabi (yang tergolong J1), sedangkan Ba’alawi terbukti G. Hal ini menimbulkan keresahan, terutama saat klaim-klaim tersebut digunakan untuk mendapatkan keistimewaan dalam forum-forum keagamaan di lingkungan NU.
3. Klaim Makam Tokoh Lokal
Sejumlah laporan menyebutkan pemalsuan sejarah lokal, termasuk mengubah identitas makam tokoh lokal menjadi “bin Yahya” untuk mengesankan hubungan dengan Ba’alawi. Kasus pemalsuan seperti makam KRT Sumadiningrat dan Mbah Malik (keturunan Pangeran Diponegoro) telah didokumentasikan oleh beberapa peneliti dan aktivis sejarah lokal.
4. Konflik dengan Organisasi Lain
Ketegangan juga terjadi antara kelompok Ba’alawi dan organisasi seperti PWI Laskar Sabilillah, yang mengkritik keras dominasi narasi sejarah dan spiritualitas oleh kelompok ini di ruang publik. Hal ini memunculkan keresahan dalam masyarakat, khususnya warga NU yang berkomitmen menjaga nilai-nilai asli pendirinya.
—
Dengan memahami dan mewaspadai dinamika ini, diharapkan NU dapat terus menjaga integritas dan keluhuran nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para pendirinya, serta menolak segala bentuk infiltrasi dan pemanfaatan organisasi demi kepentingan segelintir pihak.