SANGGAHAN ILMIAH: Kisah Halu Mi’raj 70 Kali Faqih Muqaddam – Telaah Historis, Teologis, dan Akidah

*SANGGAHAN ILMIAH: Kisah Halu Mi’raj 70 Kali Faqih Muqaddam – Telaah Historis, Teologis, dan Akidah*

 (Telaah Kritis  terhadap tulisan KH. Muhammad Ismael Amin al-Kholilie)

*1. Keutamaan dan Adab dalam Menilai Ulama*

Menilai seorang tokoh walaupun hanya merupakan sekedar tokoh fiktif ciptaan klan ba’alwi  seperti Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alwi tentu harus dengan adab keilmuan. Namun demikian, adab tidak boleh mengalahkan kebenaran (al-adab laa yaqtulu al-haqq), terutama ketika yang dipertaruhkan adalah akidah umat Islam. Dalam hal ini, nasab, klaim spiritual, dan doktrin tasawuf perlu ditimbang dengan mizan syar’i berdasarkan al-Qur’an, Hadis, dan Ijma’ Ulama. Hal ini ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin:

“Adab dalam menyampaikan kebenaran tetap penting, tetapi membela kebenaran lebih utama dari menjaga perasaan orang yang salah.”
(Lihat Ihya Ulumuddin, Bab Amar Ma’ruf)

*2. Sanggahan Terhadap Klaim Mi’raj 70 Kali: Perspektif Ulama ASWAJA*

Tulisan KH Ismael Amin mencoba membela Faqih Muqaddam atas klaim Mi’raj ruhani hingga 70 kali ke Sidratul Muntaha, dengan menyitir surat pribadi kepada Syaikh Sa’ad al-Dhofari dan pendapat para sufi seperti Ibn Arabi, Ibn al-Farid, dan Imam al-Qusyairi.

berikut ini adalah sanggahan ilmiah berbasis aqidah Sunni Asy’ariyah–Maturidiyah:

*A. Apakah Klaim Mi’raj Ruhani Bisa Diterima?*

  1. Ulama ASWAJA Tidak Menerima Klaim Spiritual Tanpa Dalil

Imam Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H), dalam al-I’tisham, menyatakan:

“Segala sesuatu yang diklaim oleh seseorang berupa pengalaman ghaib atau karamah yang tidak sesuai dengan kaidah syariat, maka harus ditolak, karena bisa termasuk dalam kategori bid’ah atau zindiq.”

➡️ Klaim mi’raj ke Sidratul Muntaha sebanyak 70 kali tidak hanya tidak berdalil dalam syariat, tetapi juga bertentangan dengan ijma’ bahwa tidak ada seorang pun setelah Nabi ﷺ yang mi’raj ke langit secara ruhani maupun jasmani sampai Sidratul Muntaha.

  1. Imam Qusyairi Tidak Membenarkan Mi’raj Badaniyah untuk Wali

Dikutip dalam tulisan tersebut memang benar Imam al-Qusyairi menyatakan:

“Mi’raj secara jasad tidak pernah dinukil dari siapa pun selain Nabi ﷺ, dan jika dikatakan bahwa hal itu mustahil terjadi bagi selain beliau, maka itu adalah sebuah mazhab.”

➡️ Namun perlu ditegaskan bahwa Imam al-Qusyairi tidak menyebutkan kemungkinan mi’raj ruhani sampai ke Sidratul Muntaha sebagaimana diklaim Faqih Muqaddam. Bahkan beliau mengkritik orang-orang yang berlebihan dalam klaim karamah tanpa dalil syar’i.

*B. Fatwa Kekufuran bagi Klaim Mi’raj: Bukan Mengada-Ada*

  1. Fatwa Mbah Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah

KH Imaduddin Utsman al Bantani tidak salah mengutip, sebab teks asli dari Mbah Hasyim memang menjelaskan bahwa mengklaim naik ke langit (mi’raj), duduk dengan Allah, dan berbicara langsung dengan-Nya adalah kekufuran, sebagaimana dijelaskan dalam nukilan dari Al-Qadhi Iyadh dalam Kitab al-Syifa’ bi Ta’rif Huquq al-Musthafa:

“Dan juga termasuk kekufuran: orang yang mengklaim dirinya telah duduk dengan Allah, naik ke atas-Nya, berbicara langsung dengan-Nya…”
(Al-Qadhi Iyadh, al-Syifa, Bab 2)

➡️ Meskipun Faqih Muqaddam tidak eksplisit menyebut bertemu Allah dalam suratnya, namun klaim sampai ke Sidratul Muntaha 70 kali adalah klaim wilayah ruang yang dikhususkan bagi Nabi Muhammad ﷺ, dan menyerempet klaim kerasulan, sebagaimana dijelaskan oleh:

  1. Ibnu Arabi (yang dikutip pembela)

Dalam Futuhat al-Makkiyah, Ibnu Arabi menyatakan:

“Mi’raj syar’i hanya untuk Rasulullah ﷺ. Jika wali mendapatkan hal serupa, maka ia masuk dalam kategori nabi, padahal kenabian telah tertutup.”

➡️ Maka Ibnu Arabi justru menolak kemungkinan wali bisa mencapai tingkat mi’raj syar’i seperti Nabi.

  1. Bahaya Klaim Karamah Berlebihan: I’tiqadi dan Sejarah

*A. Ijma Ulama: Mi’raj Badaniyah atau Ruhiya Khusus untuk Nabi Muhammad ﷺ*

Imam al-Baghawi dalam tafsir Ma’alim at-Tanzil menjelaskan:

“Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa mukjizat khusus Nabi Muhammad ﷺ dengan ruh dan jasadnya, dan ini tidak pernah diberikan kepada siapa pun selain beliau.”

➡️ Maka klaim Faqih Muqaddam, meskipun bersifat ruhani, tetap mengarah kepada pengakuan wilayah khusus kenabian, yang bisa menyebabkan kesesatan dalam akidah jika diyakini oleh awam.

*B. Mengutip Ibn Arabi, Ibn Farid, dan Al-Sya’rani Tidak Dapat Dijadikan Dalil Syariat*

Ibn Arabi, Ibn Farid, dan Al-Sya’rani adalah tokoh-tokoh sufi yang dikenal memiliki pemikiran esoterik dan simbolik yang mendalam. Namun, penting untuk ditegaskan bahwa pendapat-pendapat mereka—khususnya yang bersifat isyari, dzauqi, atau personal-spiritual—tidak dapat dijadikan dasar dalam perkara aqidah dan syariat. Pendapat mereka bukanlah hujjah dalam Islam, apalagi jika digunakan untuk melegitimasi glorifikasi berlebihan terhadap tokoh-tokoh yang belum terbukti kedudukannya dalam sejarah maupun sanad keilmuan yang valid.

Imam al-Dzahabi dalam Mīzān al-I’tidāl (j. 3, h. 660) memperingatkan dengan tegas tentang Ibn Arabi:

“Ia menyatakan hal-hal yang sangat menyesatkan dan menyerupai kaum hulūliyah dan wahdatul wujūd. Wajib berhati-hati terhadapnya.”

*Konsekuensinya:*

Mengutip Ibn Arabi atau Ibn Farid untuk membenarkan kisah Mi’raj Faqih Muqaddam bukan hanya tidak sah secara metodologi keilmuan, tetapi juga tidak dapat diterima oleh standar Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) yang menekankan dalil dari Al-Qur’an, Hadis sahih, dan pemahaman para ulama mu’tabar.

*C. Klaim Mi’raj Faqih Muqaddam = Glorifikasi Tanpa Nilai Teologis*

Pembelaan Klan Ba’alwi yang menyamakan pengalaman Mi’raj Faqih Muqaddam dengan Mi’raj Imam Abu Yazid Al-Busthami adalah upaya yang keliru dan membingungkan umat. Berikut adalah analisis ilmiah terhadap perbedaannya:

📍1. Mi’raj Abu Yazid = Perjalanan Ruhani; Mi’raj Faqih Muqaddam = Klaim Fisik 70 Kali Sehari

  • Abu Yazid Al-Busthami memahami Mi’raj sebagai maqam ruhani, bukan peristiwa fisik. Dalam literatur tasawuf, hal ini dimaknai sebagai peningkatan spiritual menuju makrifatullah.
  • Faqih Muqaddam, menurut klaim Ba’alwi, mengalami Mi’raj fisik ke Sidratul Muntaha 70 kali sehari, bahkan dengan kendaraan. Ini jelas bentuk pengkultusan yang bertentangan dengan prinsip Mi’raj Rasulullah SAW yang hanya terjadi sekali, dan membawa perintah shalat sebagai bukti otoritatif kenabian.

📍2. Abu Yazid Tidak Mengklaim Sampai ke Sidratul Muntaha

  • Abu Yazid Al-Busthami tidak pernah mengklaim bahwa dirinya sampai ke Sidratul Muntaha karena memahami batas maqam spiritual manusia.
  • Faqih Muqaddam justru dikisahkan sampai ke Sidratul Muntaha tanpa membawa wahyu atau hikmah untuk umat. Maka, klaim ini kosong makna dan hanya glorifikasi yang tidak memiliki urgensi syariat.

📍3. Mi’raj Abu Yazid = Refleksi; Mi’raj Faqih Muqaddam = Cerita Mitos Tanpa Ajaran

  • Abu Yazid menekankan mi’raj sebagai refleksi jiwa dan penyucian diri.
  • Sementara Faqih Muqaddam disebut-sebut naik ke langit berkali-kali namun tidak membawa ajaran, hukum, atau manfaat apa pun bagi umat. Ini membuat kisahnya tidak hanya irasional tetapi juga tidak bernilai secara akidah maupun syariat.

📍4. Tidak Ada Ulama Menyamakan Abu Yazid dengan Nabi

  • Tidak pernah ada klaim bahwa Abu Yazid lebih hebat dari Nabi Muhammad SAW. Para sufi besar tetap menempatkan Rasulullah SAW sebagai satu-satunya manusia yang benar-benar mengalami Mi’raj secara fisik dan menerima wahyu.
  • Namun klaim Faqih Muqaddam Mi’raj 70 kali sehari jelas menyalahi tatanan aqidah, seolah lebih tinggi maqamnya daripada Rasulullah SAW. Ini bukan tasawuf, melainkan pemalsuan dan pengkultusan yang ekstrem.

*4. Kesimpulan: Mi’raj Faqih Muqaddam = Klaim Syubhat yang Bertentangan dengan Aqidah ASWAJA*

  • Klaim mi’raj 70 kali ke Sidratul Muntaha, meskipun dalam surat pribadi, tetaplah berbahaya secara aqidah, karena dapat menimbulkan pemahaman keliru terhadap umat.
  • Pendapat para sufi seperti Ibn Arabi tidak bisa digunakan untuk menafikan ijma’ ulama Ahlussunnah.
  • Kritik KH Imaduddin Utsman al-Bantani memiliki dasar kuat dalam nash, ijma’, dan pendapat ulama mu’tabar seperti:
    • Imam al-Ghazali
    • Imam Qadhi Iyadh
    • Imam al-Qusyairi
    • Imam Abu Ishaq asy-Syathibi
    • KH Hasyim Asy’ari

Penutup

Kisah Mi’raj Faqih Muqaddam versi Klan Ba’alwi bukan sekadar keliru, melainkan merusak kemurnian aqidah Islam. Mi’raj adalah mukjizat eksklusif Nabi Muhammad SAW yang memiliki dampak besar: shalat sebagai rukun Islam. Maka, klaim tokoh lain melakukan Mi’raj berkali-kali tanpa membawa manfaat apa pun adalah mitos kosong yang dibungkus glorifikasi pribadi.

Mengutip tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Ibn Farid, dan al-Sya’rani untuk membenarkan klaim-klaim semacam itu adalah cacat secara ilmiah dan aqidah. Pendapat mereka bukan hujjah, apalagi jika bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadis sahih, dan Ijma’ ulama.

 

Membela tokoh tasawuf seperti Faqih Muqaddam tidak boleh membutakan kita dari batasan syariat dan aqidah. Jika terdapat kekeliruan atau potensi syirik, atau kufur, maka para ulama wajib menjelaskan dan umat wajib waspada.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

الدين النصيحة
“Agama adalah nasihat.”
(HR. Muslim)

Referensi Ilmiah (Non-Wahabi):

  1. Imam al-Qadhi Iyadh – al-Syifa’
  2. Imam al-Ghazali – Ihya Ulumuddin
  3. Imam al-Qusyairi – al-Risalah al-Qusyairiyyah
  4. Imam Abu Ishaq asy-Syathibi – al-I’tisham
  5. Imam al-Baghawi – Ma’alim at-Tanzil
  6. KH Hasyim Asy’ari – Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah
  7. Imam al-Dzahabi – Mizan al-I’tidal
  8. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub – Tasawuf dalam Islam: Antara Syari’at dan Kebatinan

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *