*Analisis Kritis terhadap Lampiran Buku Keabsahan Nasab Ba’alwi : Telaah atas Kutipan Kalam Ulama oleh Klan Ba’alwi*
(Tulisan diambil dari buku KETIDAKABSAHAN NASAB BA’ALWI – Karya KH.Ja’far Shodiq Fauzi)
Buku “Keabsahan Nasab Ba’alwi” memuat berbagai kutipan dari ulama yang seolah mendukung klaim nasab mereka. Namun, setelah diteliti lebih dalam, banyak dari kutipan tersebut ternyata tidak sahih atau memiliki permasalahan serius dalam sanadnya. Berikut adalah bantahan terhadap beberapa kutipan dalam buku tersebut:
*1. Penyebutan “Sayid” dalam Tsabat Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki*
Dalam buku ini, pada halaman 60, terdapat lampiran mengenai tsabat dari Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Idrisi Al-Hasani dari Makkah Al-Mukarramah serta tsabat ayah beliau.
Bantahan terhadap klaim ini dapat dikaitkan dengan bagaimana penyebutan gelar “Sayid” dalam berbagai kitab. Hadrotus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi-nya menyebut beberapa tokoh seperti Habib Ahmad bin Abdullah As-Segaf, Sayid Abdullah bin Husein bin Thohir (pengarang kitab Sullam Taufiq), dan Imam Al-Ghazali dengan gelar “Sayid”. Padahal, kita mengetahui bahwa Imam Al-Ghazali bukanlah keturunan Rasulullah SAW.
Dari sini dapat dipahami bahwa penyebutan “Sayid” bisa memiliki makna lughawi sebagai bentuk penghormatan yang berarti “Tuan” atau “Panutan”, bukan sebagai pengesahan nasab seseorang sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
*2. Sanad dari Al-Sayyid Hasan bin Muhammad Al-Allal Al-Husaini (w. 460 H)*
Dalam buku ini juga diklaim bahwa Al-Sayyid Hasan bin Muhammad Al-Allal bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa (w. 460 H) memiliki nasab sahih dan tercatat dalam kitab-kitab nasab dari generasi ke generasi sebagai keturunan Ahmad Al-Muhajir. Namun, setelah diteliti, sanad ini termasuk dalam kategori sanad “Maudu'” (dusta) karena beberapa alasan:
- Tidak boleh seseorang menerima sanad dari dirinya sendiri.
- Husein bin Muhammad tidak tercatat memiliki murid bernama Abdullah bin Ahmad Al-Abah. Hal ini bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab sejarah seperti Tarikh Baghdad (Jilid 6, halaman 569).
- Tidak ada manuskrip asli yang dapat dikonfirmasi. Jika sebuah manuskrip tidak memiliki bukti keberadaannya, maka informasi yang bersumber dari sana dapat dianggap tidak valid. Hal ini sejalan dengan pernyataan dalam Kitab Rasail Fi Ilmi Ansab (halaman 166), yang menyebutkan: “Mereka mengklaim kitab rujukannya tidak ditemukan…”
- Adanya istilah khusus dalam penulisan nasab Abdullah. Dalam kaidah ilmu nasab, jika terdapat simbol atau istilah tertentu yang menunjukkan keraguan, maka itu bisa menjadi indikasi bahwa nasab tersebut memang dipertanyakan keabsahannya.
*3. Sanad dari Al-Sayyid Abul Qasim Al-Naffath (w. 490 H)*
Sanad ini juga tergolong sebagai sanad “Maudu'” karena beberapa hal:
- Muridnya, yang dikenal dengan julukan Al-Asyghar Al-Alawi, memiliki indikasi sebagai pemalsu sanad.
- Banyak perawi dalam sanad ini yang tidak dikenal atau berstatus “Majhul” (tidak diketahui kredibilitasnya).
- Abdullah bin Muhammad Al-Habsyie dalam Kitab Mashodir Fikriyah Al-Islamiyah Al-Yamaniyah (halaman 558) menyebut bahwa kitab-kitab karya Ibnu Jindan tidak memiliki nilai akademik. Kitab tersebut dipenuhi dengan pernyataan rancu, tanpa referensi yang jelas, serta mengandung informasi yang tidak valid.
- Ibnu Jindan bahkan dianggap sebagai seseorang yang mengidap “Malikhuliya” (gangguan mental atau halusinasi). Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa sanad yang diklaim dalam buku ini tidak dapat dipercaya.
*Kesimpulan*
Berdasarkan analisis di atas, kutipan-kutipan yang digunakan dalam buku ini untuk membenarkan klaim klan Ba’alwi memiliki banyak kelemahan. Dari penggunaan istilah “Sayid” yang sering kali bersifat lughawi, hingga sanad-sanad yang mengandung perawi yang tidak jelas atau bahkan diduga palsu, semua ini menunjukkan bahwa klaim dalam buku tersebut tidak dapat diterima begitu saja tanpa verifikasi yang ketat.
Pembaca diharapkan untuk lebih kritis dalam menerima informasi mengenai nasab dan sejarah, terutama yang berkaitan dengan klaim keturunan Nabi Muhammad SAW. Verifikasi dari berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah, filologi, dan genetika, sangat diperlukan agar kebenaran dapat ditegakkan secara ilmiah dan objektif.
*4. Al-Faqih Hasan bin Rasyid (w. 638 H) dan Syarif Abu al-Jadid Ali bin Muhammad bin Jadid*
Salah satu murid dari Syarif Abu al-Jadid yang sering disebut adalah Hasan bin Rasyid (w. 638 H), sebagaimana disebutkan dalam kitab As-Suluk fi Thabaqatil Ulama wal Muluk jilid 2 halaman 132. Dalam kitab tersebut, Hasan bin Rasyid dikatakan banyak mengambil ilmu dari Abu al-Jadid, yang kemudian menguatkan sanadnya dengan An-Naffath dan Al-Allal.
Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, sanad yang diklaim tersebut ternyata maudu’ (palsu), karena beberapa rawinya tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab Thabaqat Ahlil Hadits. Ini menunjukkan bahwa klaim sanad tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
*5. Syeikh Umar bin Sa’ad Ad-Dzofari (w. 667 H)*
Dalam buku Keabsahan Nasab Ba’alwi, halaman 33-34, dikutip sebuah naskah (manuskrip) dari Syeikh Umar bin Sa’ad Ad-Dzofari. Namun, setelah diteliti lebih dalam, sanad hadits yang dikutip dalam naskah tersebut juga maudu’ karena sebagian rawinya majhul (tidak dikenal) dan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits.
Selain itu, dalam naskah tersebut disebutkan bahwa Muhammad bin Ali Al-Faqih Al-Muqaddam mengambil sanad hadits dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid. Pernyataan ini jelas merupakan kebohongan karena berdasarkan sumber yang lebih kredibel, Abul Hasan Ali bin Muhammad tidak pernah memiliki murid bernama Muhammad bin Ali Al-Faqih Al-Muqaddam. Hal ini diperkuat dengan keterangan dalam kitab As-Suluk fi Thabaqatil Ulama wal Muluk karya al-Janadi.
*6. Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H)*
Dalam beberapa sumber, Ibnu Hajar Al-Haitami sering diklaim telah mengisbatkan (mengakui) nasab Ba’alwi dengan menyebutkan silsilah sanad tasawuf dari Abu Bakar Al-Idrus hingga Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Klaim ini didasarkan pada kitab Tsabat Ibnu Hajar halaman 212-214.
Namun, kenyataannya, Ibnu Hajar Al-Haitami tidak pernah bertemu langsung dengan Abu Bakar Al-Idrus. Ia hanya mendapatkan ijazah dari gurunya, yang merupakan murid Abu Bakar Al-Idrus. Sumber utama klaim ini berasal dari kitab Juz’ul Latif karya Al-Idrus. Sementara itu, dalam kitab Durarul Baha Ad-Dhawi, Muhammad bin Ali Ba’alwi justru disebutkan memiliki sanad tasawuf dari Syeikh Abu Madyan Su’aib Attilimsani, bukan dari ayahnya Muhammad Shohib Mirbat.
Kesimpulannya, pernyataan Ibnu Hajar bukanlah bentuk pengakuan nasab, melainkan sekadar penyebutan sanad tasawuf yang ia terima dari gurunya tanpa validasi lebih lanjut. Ini mencerminkan bagaimana dalam dunia tasawuf, sanad sering kali hanya berfungsi sebagai silsilah keilmuan, bukan sebagai bukti historis.
*7. Al-Hafidz As-Sakhawi (w. 902 H)*
Al-Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhawi dalam kitabnya Ad-Dhau’ul Lami’ menyebutkan nasab Abdullah bin Muhammad Al-Ba’alwi hingga Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir (jilid 5, halaman 59). Namun, informasi yang dicatat oleh As-Sakhawi ini diperoleh ketika ia bertemu dengan Abdullah bin Muhammad Ba’alwi di Makkah.
Sumber utama Abdullah bin Muhammad Ba’alwi adalah pamannya, Ali As-Sakran, yang dalam banyak kasus hanya mendasarkan argumennya pada asumsi pribadi. Sumber lain yang digunakan, yakni kitab Al-Burqoh Al-Musyiqoh, juga telah diketahui memiliki banyak kecacatan dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan ilmiah.
*8. Sejarawan Yaman, Imam Bahauddin al-Janadi (w. 732 H)*
Dalam kitabnya As-Suluk, Imam Bahauddin al-Janadi sama sekali tidak menyebutkan bahwa nasab Ba’alwi sampai kepada Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir. Kitab ini hanya menceritakan keluarga Abu al-Jadid, di mana puncak nasabnya adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa.
Ali As-Sakran kemudian berasumsi bahwa Ubaidillah sebenarnya adalah Abdullah yang namanya ditashghir (diperkecil bentuknya). Namun, klaim ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak bersumber dari riwayat yang jelas dan valid dalam kitab As-Suluk.
*Kesimpulan*
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim nasab Ba’alwi yang bersandar pada sumber-sumber ini sangat lemah dan penuh dengan kecacatan sanad serta distorsi sejarah. Beberapa poin utama yang menjadi kelemahan klaim tersebut adalah:
- Banyak sanad yang digunakan ternyata maudu’ (palsu) atau majhul (tidak dikenal dalam literatur hadits).
- Beberapa tokoh yang disebutkan tidak memiliki hubungan murid-guru yang sah dengan tokoh lain yang diklaim sebagai sumber sanad.
- Banyak klaim yang didasarkan pada asumsi pribadi tanpa dasar yang kuat dalam kitab-kitab sejarah yang kredibel.
- Penggunaan sanad tasawuf sering kali disalahartikan sebagai pengakuan nasab, padahal dalam dunia tasawuf, sanad hanya menunjukkan silsilah keilmuan, bukan bukti garis keturunan.
Dengan demikian, perlu ada kajian ulang yang lebih kritis terhadap klaim-klaim nasab yang bersandar pada sumber-sumber yang lemah ini. Pembaca sebaiknya lebih selektif dalam menerima informasi dan selalu merujuk kepada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.