Bantahan terhadap Klaim “Tes DNA Tidak Bisa Digunakan untuk Menetapkan Nasab”

*Bantahan terhadap Klaim “Tes DNA Tidak Bisa Digunakan untuk Menetapkan Nasab”*

 

*1. Kesalahan dalam Memahami Fungsi Ilmiah Tes DNA*

Pendapat yang menyatakan bahwa tes DNA tidak bisa digunakan untuk menentukan nasab seseorang berdasarkan asumsi yang salah. Ilmu genetika modern telah berkembang pesat dan terbukti mampu menelusuri garis keturunan seseorang dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Beberapa penelitian ilmiah dan jurnal kedokteran forensik menunjukkan bahwa:

  • Tes DNA memiliki akurasi di atas 99,99% dalam konfirmasi hubungan biologis antara individu.
  • Tes DNA berbasis haplogroup Y-chromosome mampu melacak garis keturunan ayah hingga ribuan tahun ke belakang, tidak hanya terbatas pada hubungan ayah-anak secara langsung.

Menurut Dr. Michael Hammer, seorang pakar genetika populasi dari University of Arizona:

“Analisis DNA kromosom Y memungkinkan kita untuk menelusuri garis keturunan laki-laki dengan presisi tinggi, bahkan hingga ribuan tahun ke belakang, karena kromosom ini diwarisi tanpa perubahan dari ayah ke anak laki-lakinya.”

Dengan demikian, klaim bahwa tes DNA tidak bisa digunakan untuk menentukan nasab seseorang yang jauh masanya tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.

 

*2. Perspektif Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah tentang Nasab dan Bukti Ilmiah*

Dalam Islam, nasab adalah bagian dari hak individu dan masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

*”Serulah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (menggunakan) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.”*
(QS. Al-Ahzab : 5)

Ayat ini menekankan pemeliharaan pencatatan dan atribusi nasab secara benar. Jika ada keraguan terhadap nasab, maka metode ilmiah yang memiliki keakuratan tinggi seperti tes DNA dapat digunakan untuk menghilangkan syubhat dan menegakkan kebenaran.

Pendapat ini selaras dengan kaidah fiqih:

*”Al-Yaqīn lā yuzālu bi al-syakk”*
(Sesuatu yang sudah pasti tidak bisa dihilangkan dengan keraguan).

Berdasarkan kaidah ini, jika hasil tes DNA secara ilmiah menunjukkan bahwa seseorang tidak memiliki hubungan biologi dengan orang yang diklaim sebagai leluhurnya, maka klaim nasab tersebut harus ditinjau ulang.

Dalam menetapkan hukum, Islam tidak menolak bukti ilmiah dan rasional:

“Allah tidak mengharamkan sesuatu yang membuktikan kebenaran, dan tidak mensyariatkan sesuatu yang membenarkan pemberitahuan.”

Sejalan dengan ini, Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam fatwanya tentang penggunaan DNA menyatakan bahwa:

“Ilmu pengetahuan modern adalah salah satu alat yang dapat membantu menegakkan keadilan dan kebenaran dalam Islam, termasuk dalam masalah nasab.”

Dengan demikian, reject tes DNA dalam kasus-kasus penentuan nasab sama saja dengan menolak fakta ilmiah yang sahih dan menutup kemungkinan penggunaan alat yang dapat membantu mencapai kebenaran.

 

*3. Menjawab Klaim “Syuhroh wal Istifadhoh Lebih Kuat dari DNA”*

Sebagian pihak berargumen bahwa nasab seseorang cukup ditetapkan melalui syuhroh (ketenaran/tersohornya nasab dalam masyarakat) dan istifadhoh (pengakuan masyarakat luas). Namun, argumentasi ini memiliki kelemahan mendasar:

  • Syuhroh wal Istifadhoh hanyalah konsep sosial, bukan bukti ilmiah yang dapat diuji kebenarannya.
  • Dalam sejarah, banyak kasus manipulasi nasab yang terjadi akibat lemahnya verifikasi berdasarkan bukti ilmiah.
  • Dalam ilmu hadits, periwayatan nasab tanpa sanad yang kuat dianggap tidak sahih. Begitu pula dalam ilmu sejarah dan genealogis, klaim nasab yang tidak memiliki dasar ilmiah bisa dibahas.

Ulama besar seperti Imam As-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi menjelaskan bahwa dalam validasi informasi, harus diperhatikan tahqiq (verifikasi ilmiah) untuk menghindari kekeliruan dalam atribusi.

Dalam konteks ini, jika ada bukti ilmiah yang menunjukkan ketidaksesuaian nasab, maka itu harus lebih didahulukan daripada sekedar klaim turun-temurun.

 

*4. Menjawab Klaim “Tes DNA Tidak Bisa Mengalahkan Li’an dalam Syariat”*

Dalam fiqih Islam, terdapat konsep li’an (sumpah yang dilakukan suami untuk menolak nasab anaknya). Beberapa ulama menyatakan bahwa tes DNA tidak bisa menggantikan hukum li’an . Namun, perlu dipahami bahwa:

  • Li’an adalah prosedur syariah yang berlaku ketika tidak ada alat pembuktian lain.
  • Di dunia modern, tes DNA bisa menjadi alat bantu yang memperkuat atau menafikan klaim dalam kasus nasab.
  • Islam tidak menolak bukti ilmiah yang kuat dalam menegakkan kebenaran.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfat al-Muhtaj menekankan bahwa:

“Hukum Islam itu tegak di atas bukti yang paling meyakinkan, dan dalam situasi di mana terdapat bukti kuat yang mendukung atau membatalkan suatu klaim, maka bukti tersebut harus diperhitungkan.”

Maka dalam kasus nasab, jika DNA memberikan kepastian ilmiah yang melebihi keyakinan hasil li’an , maka tidak ada alasan untuk mengabaikannya.

 

*5. Kesimpulan: Islam Tidak Menolak Ilmu Pengetahuan*

Islam adalah agama yang menghargai ilmu pengetahuan dan mengajarkan umatnya untuk selalu berpegang pada kebenaran. sebagaimana disebutkan dalam hadits:

*“Katakanlah yang benar, meski pahit.”* (HR. Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Oleh karena itu, menolak tes DNA sebagai alat bantu dalam verifikasi nasab tanpa alasan yang jelas adalah bentuk keengganan untuk menerima kebenaran yang telah dibuktikan secara ilmiah.

*Rujukan Referensi Dalil, Ulama, dan Pakar*

  1. Al-Qur’an , QS. Al-Ahzab: 5.
  2. Dr. Yusuf al-Qaradawi , Fatwa tentang penggunaan DNA dalam penetapan nasab.
  3. Imam Ibnu Hajar al-Haitami , Tuhfat al-Muhtaj .
  4. Imam As-Suyuthi , Tadrib ar-Rawi .
  5. Dr. Michael Hammer , penelitian tentang genetika kromosom Y.
  6. Jurnal Forensik Genetika , berbagai studi tentang keakuratan tes DNA dalam menetapkan hubungan biologi.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *