*Framing Sesat dan Bahaya Retorika Kosong: Menyikapi Narasi “Semua Pendatang” ala Kabeb Kribo*
Oleh Tim Redaksi Walisongobangkit.com
Sumber: https://www.facebook.com/share/15eH8V979y/?mibextid=xfxF2i
Retorika publik tentang sejarah, identitas, dan kebangsaan tidak pernah lepas dari debat panjang. Namun, ketika opini yang dibangun justru memutarbalikkan fakta sejarah dan mengaburkan realitas ketimpangan sosial dengan dalih “semua adalah pendatang”, maka penting bagi publik untuk mengajukan koreksi intelektual yang jernih dan berimbang.
Salah satu narasi yang kini ramai diperbincangkan berasal dari seorang figur bernama Kabeb Kribo. Lewat beberapa unggahan di media sosialnya, Kabeb mempromosikan gagasan bahwa “semua manusia adalah pendatang”, tanpa kecuali. Sekilas terdengar moderat dan inklusif, namun jika dikaji lebih dalam, narasi ini menyimpan sejumlah kekeliruan logis dan historis yang dapat berbahaya bagi upaya rekonsiliasi sejarah dan keadilan sosial di Indonesia.
*1. Fallacy “Semua Pendatang”: Kabur Secara Logika dan Sejarah*
Mengatakan bahwa semua manusia adalah pendatang memang benar secara geologis dan biologis. Namun menyamakan penduduk asli Papua, Dayak, atau Badui dengan pendatang kolonial seperti VOC dan kelompok-kelompok penguasa pascakolonial adalah kekeliruan logika yang disebut false equivalence dan fallacy of composition.
Penduduk adat memiliki relasi spiritual, historis, dan ekologis yang panjang dengan tanah leluhur mereka, jauh sebelum struktur negara modern terbentuk. Menyamakan mereka dengan aktor kolonial atau migrasi paksa berbasis kekuasaan jelas mengabaikan konteks, sejarah kekerasan, serta ketimpangan struktural yang diwariskan.
*2. Bahaya Framing “Tidak Ada Pribumi Asli”*
Narasi ini sangat mirip dengan retorika yang dulu digunakan penjajah: “tanah ini tidak bertuan.” Tujuannya bukan sekadar membangun argumen historis, tetapi untuk melegitimasi penghapusan hak-hak kelompok lokal. Ketika istilah “pribumi” dihapus dari konteks sejarah penjajahan, maka ketimpangan akibat kolonialisme menjadi tidak relevan, dan perjuangan kelompok terpinggirkan dianggap sebagai bentuk rasisme baru.
Framing semacam ini bukan saja keliru secara akademis, tapi juga mengancam kohesi sosial. Ia menghapus ruang rekognisi terhadap kelompok-kelompok adat yang masih mengalami marginalisasi sistemik hingga hari ini.
*3. Kesetaraan Sosial Tidak Dapat Dicapai dengan Menghapus Sejarah*
Setiap bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu merekonsiliasi sejarahnya. Rekonsiliasi menuntut pengakuan, bukan penyangkalan. Kesetaraan hak antargolongan hanya bisa dibangun di atas fondasi keadilan historis—yakni pengakuan atas luka masa lalu dan tanggung jawab kolektif untuk tidak mengulangnya.
Menghapus istilah “pribumi” dari konteks ketimpangan masa lalu bukanlah langkah progresif, melainkan regresif. Ia menafikan akar dari berbagai ketidakadilan struktural yang masih membekas hingga kini dalam bidang ekonomi, politik, dan pendidikan.
*4. Retorika Kosong Bertopeng Logika*
Kabeb Kribo juga menyindir bahwa tidak ada manusia yang “turun dari langit” sebagai pemilik tanah. Kalimat ini, walaupun bernada satir, justru menunjukkan kegagalan memahami filsafat kewarganegaraan dan relasi kultural antara manusia dan tanah airnya. Kepemilikan bukan sekadar legalitas administratif, tetapi juga keterikatan historis dan ekologis yang dijalin turun-temurun.
Dalam teori politik modern, konsep “hak atas tanah” dalam konteks penduduk adat adalah bagian dari hak kolektif. Ini diakui oleh hukum internasional, termasuk dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), yang menjamin hak masyarakat adat atas tanah, wilayah, dan sumber daya mereka.
*5. Mengulang Narasi Devide et Impera ala Kolonial*
Dengan mengaburkan fakta sejarah, menyamakan semua pihak sebagai “pendatang setara”, dan menuding perjuangan rekognisi sejarah sebagai tindakan rasis, maka framing semacam ini berpotensi menghidupkan kembali devide et impera gaya baru. Padahal, yang diperjuangkan banyak kelompok adat hari ini bukan superioritas rasial, melainkan pemulihan martabat dan keadilan sosial atas sejarah penjajahan dan marginalisasi sistematis.
*6. Perlu Etika dalam Berdiskusi: Menghindari Retorika yang Menghujat*
Sebagai negara demokrasi, Indonesia menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu harus disertai tanggung jawab intelektual dan etika publik. Pernyataan yang bersifat menyindir, merendahkan, atau mengejek kelompok tertentu atas dasar identitas sosial atau sejarah mereka, bukan saja tak produktif, tapi juga berpotensi melanggar norma sosial dan hukum yang berlaku.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat, tetapi dilarang menyebarkan ujaran kebencian, diskriminasi, atau fitnah yang merusak keutuhan bangsa.
*7. Penutup: Merawat Sejarah, Membangun Masa Depan*
Bangsa ini dibangun di atas peluh dan darah banyak kelompok, termasuk mereka yang menjadi korban kolonialisme. Tidak semua kelompok memulai dari garis yang sama. Karena itu, jika kita ingin bicara kesetaraan hari ini, kita harus terlebih dahulu mengakui ketidaksetaraan di masa lalu. Narasi-narasi yang mengaburkan sejarah dan menafikan hak historis kelompok terpinggirkan bukanlah jalan keadilan, tapi jalan menuju pengulangan luka lama.
Dalam hal ini, penting bagi semua pihak—terutama tokoh publik dan intelektual media sosial—untuk merawat etika berpikir, menjaga akurasi sejarah, serta menjadikan dialog sebagai jalan menuju persatuan sejati. Kesetaraan tidak lahir dari penyangkalan, melainkan dari keberanian menghadapi kenyataan dan komitmen membangun keadilan bersama.
—
Catatan Redaksi: Tulisan ini tidak bermaksud menyerang pribadi atau kelompok tertentu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dalam menjaga ruang publik yang sehat, beradab, dan berdasarkan fakta sejarah. Semua pihak berhak atas kebebasan berbicara, tetapi juga wajib menjaga keutuhan sosial dengan sikap kritis yang konstruktif.