*Keadilan Seharusnya Tak Pilih Kasih: Mengkritisi Ketimpangan Sikap MUI dalam Menyikapi Penghinaan dan Ajaran Sesat*
*Oleh: Pemerhati Umat dan Keadaban Publik*
Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan respons cepat terhadap dugaan penghinaan kepada tokoh yang dikenal sebagai Guru Tua, Habib Idrus bin Salim Aljufri. Langkah tersebut tentu baik dan patut diapresiasi, mengingat pentingnya menjaga kehormatan ulama dan tokoh bangsa. Namun, publik tidak bisa menutup mata bahwa sikap responsif tersebut terasa timpang ketika dibandingkan dengan kasus-kasus serupa, bahkan lebih parah, yang pernah terjadi sebelumnya—yang justru tidak mendapat perhatian serupa dari MUI.
Sebagai contoh, penghinaan yang dilakukan oleh Faisal Assegaf terhadap KH Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama dan Pahlawan Nasional, tidak pernah diproses atau dikecam secara terbuka oleh MUI. Begitu pula dengan ujaran-ujaran penuh kebencian dan ancaman kekerasan oleh tokoh seperti Rizieq Shihab yang menyebut lawannya “monyet”, mengajak perang, hingga menyebutkan ajakan untuk “mengasah golok”, tak pernah mendapat kecaman serius dari lembaga keulamaan tertinggi di Indonesia ini.
Mengapa diam? Mengapa suara MUI seolah hanya terdengar ketika menyangkut tokoh dari kelompok tertentu, tetapi senyap ketika menyangkut penghinaan terhadap tokoh-tokoh ulama asli Nusantara atau ajaran-ajaran Islam yang disesatkan oleh sebagian oknum?
Lebih ironis lagi, selama bertahun-tahun masyarakat disuguhkan dengan berbagai pernyataan-pernyataan absurd dan menyesatkan dari sejumlah tokoh yang mengklaim sebagai keturunan Nabi (habib). Mereka dengan terang-terangan menyampaikan klaim mistis dan irasional seperti mampu memadamkan api neraka, mengusir malaikat maut, terbang ke langit 70 kali semalam, sampai memberi surat sakti untuk lolos dari hisab kubur. Anehnya, semua itu tidak pernah disentuh oleh MUI, padahal jelas-jelas menyesatkan umat dan mengancam akidah.
Beberapa dari ajaran tersebut bahkan telah beredar dalam bentuk video dan disampaikan di atas panggung keumatan. Ini bukan sekadar perbedaan tafsir, melainkan bentuk kultus individu yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni dan rasional. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Azyumardi Azra, seorang cendekiawan Muslim dan mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, “Ajaran yang mengarah pada kultus individu dapat merusak pemahaman umat terhadap Islam yang sesungguhnya, yaitu agama yang mengajarkan kesederhanaan dan keadilan.”
Mengapa MUI tidak bertindak tegas? Mengapa MUI tidak memberi peringatan kepada pihak-pihak yang menyebarkan ajaran sesat tersebut? Bila tidak dikritisi, hal ini bisa mengarah pada pembodohan massal dan pelecehan terhadap ajaran tauhid, yang merupakan pokok ajaran dalam Islam. Dalam bukunya “Islam dan Pemikiran Keagamaan” (2005), Prof. Dr. Azyumardi Azra menegaskan, “Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan, akal sehat, dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, bukan ritualisme kosong yang berorientasi pada keuntungan pribadi.”
Dalam kondisi ini, pertanyaan publik sangat wajar: Apakah MUI hanya bersuara ketika yang dihina adalah tokoh dari satu klan tertentu? Apakah MUI sudah menjadi alat stempel politik identitas dan popularitas, bukan lagi sebagai penjaga moral umat?
Jika MUI ingin tetap dipercaya oleh umat sebagai lembaga rujukan, maka keadilan dalam bersikap harus menjadi prioritas utama. Mengutuk satu kasus penghinaan sambil menutup mata terhadap kasus lainnya hanya akan menambah jurang ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga ulama. Hal ini juga disampaikan oleh Prof. Dr. Anhar Gonggong, seorang sejarawan Indonesia, yang mengatakan, “Jika lembaga keagamaan seperti MUI tidak bersikap objektif, kepercayaan umat akan hilang. MUI harus menjadi lembaga yang konsisten dalam menegakkan kebenaran, bukan lembaga yang selektif dalam menangani masalah.”
Sudah waktunya MUI tidak hanya reaktif pada kasus yang mencuat di media sosial atau menyangkut kelompok tertentu. Tapi juga bertindak tegas atas ajaran-ajaran sesat yang menyandera akidah umat, termasuk mencermati propaganda-propaganda kultus habib yang menjual nama Nabi demi kepentingan kelompok dan bisnis spiritual.
Umat butuh ketegasan, bukan pembiaran. Butuh keadilan, bukan keberpihakan. Butuh pencerahan, bukan pengaburan. Dalam pandangan Prof. Dr. Manachem Ali, seorang pakar filologi dari Universitas Airlangga, “Islam harus tetap dilihat sebagai agama yang mengedepankan rasionalitas dan moderasi, bukan sebagai sarana untuk memperdaya umat demi kepentingan pribadi atau kelompok.”
Dan yang terpenting, umat butuh ulama yang jujur, adil, dan berani menyuarakan kebenaran, bukan ulama yang hanya memilih diam demi menjaga harmoni semu di atas dusta yang terus dipelihara.
Sebagai umat, kita harus terus mengingatkan diri kita bahwa Islam adalah agama yang mendorong kita untuk berpikir dengan rasional, berpegang pada prinsip keadilan, dan selalu menjaga kemurnian ajaran-Nya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita menuntut MUI untuk bersikap adil, tidak pilih kasih, dan tidak membiarkan ajaran sesat berkembang dalam tubuh umat Islam.
*Lampiran: Beberapa Kesesatan Ajaran dan Kultus Individu dalam Klan Ba’alwi*
Berikut adalah sejumlah ajaran atau pernyataan tokoh-tokoh dari klan Ba’alwi yang telah tersebar luas dan mencederai akidah Islam:
1. Mengklaim Bisa Mengusir Malaikat Maut
Seorang tokoh dari klan Ba’alwi menyatakan bahwa dirinya bisa mengusir malaikat maut dari rumahnya, yang secara teologis adalah bentuk pembangkangan terhadap ketetapan Allah SWT dan pengingkaran terhadap takdir kematian.
2. Mengaku Dapat Terbang ke Langit 70 Kali dalam Semalam
Klaim ini sangat tidak rasional dan menyerupai cerita-cerita khurafat yang bertujuan memancing pengagungan berlebihan dari pengikut.
3. Menyatakan Bisa Memberi Surat Sakti untuk Selamat dari Hisab Kubur
Praktik semacam ini telah dikritik keras oleh para ulama sebagai bentuk penyesatan dan jual-beli akhirat, karena keselamatan di akhirat hanya ditentukan oleh amal dan rahmat Allah, bukan jaminan dari seseorang.
4. Mengklaim Bisa Memadamkan Api Neraka
Ini adalah bentuk penistaan terhadap konsep siksa Allah, yang hanya bisa dihindari oleh hamba yang bertakwa, bukan oleh intervensi manusia.
5. Menjual Doa dan Jaminan Surga
Beberapa tokoh dikenal menjual amalan, ziarah, atau ijazah tertentu dengan tarif mahal, disertai iming-iming keberuntungan dunia dan akhirat. Ini merupakan bentuk komersialisasi agama.
6. Menganggap Dirinya dan Klan-nya Suci dan Tidak Mungkin Salah
Ajaran seperti ini membentuk kultus individu, di mana kritik dianggap sebagai penghinaan, dan tokoh-tokoh tersebut didewakan melebihi posisi yang layak bagi manusia biasa.
7. Mengklaim Harus Tunduk pada Habib Karena Mereka Darah Nabi
Padahal secara genetika telah terbukti sebagian besar tokoh dari klan Ba’alwi bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana hasil penelitian DNA (haplogroup G2a, bukan J1 yang identik dengan Bani Hasyim).
8. Merusak Sejarah dengan Mengubah Nasab Tokoh Lokal
Banyak tokoh asli Nusantara yang nasabnya diubah secara sepihak menjadi “bin Yahya” atau keturunan Yaman tanpa dasar sejarah maupun bukti, termasuk tokoh-tokoh seperti:
KRT Sumadiningrat (diganti jadi Ba’alwi)
Mbah Malik cucu Pangeran Diponegoro (diubah jadi bin Yahya)
9. Menghujat Ulama Asli Nusantara
Sejumlah tokoh Ba’alwi seperti Faisal Assegaf terang-terangan menghina KH Hasyim Asy’ari, namun tak satu pun klarifikasi atau kecaman keluar dari tokoh-tokoh mereka, bahkan cenderung diam.
10. Mengklaim Indonesia Milik Awliya Tarim
Klaim semacam ini adalah bentuk penjajahan spiritual yang tidak berdasar, dan merampas kedaulatan sejarah bangsa.
—
Penegasan Akhir: Ajaran-ajaran dan klaim-klaim di atas bukan hanya merusak akidah, tapi juga menciptakan kasta semu dalam Islam. Ini bertentangan dengan pesan Rasulullah SAW dalam khutbah terakhir beliau:
“Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, kecuali karena takwa.”
MUI, para ulama, dan segenap umat Islam harus berani meluruskan penyesatan ini dan menyelamatkan generasi umat dari penyembahan manusia atas nama agama.
—