Ketika Kebenaran Disuruh Diam: Nasab, Ilmu, dan Kuasa Simbolik

*Ketika Kebenaran Disuruh Diam: Nasab, Ilmu, dan Kuasa Simbolik*

Oleh Redaksi walisongobangkit.com

“Wes pokoke diam saja kamu, pasrahke pada PBNU urusan nasab, ngajimu kui durung katam… jabatan titel bagiku ga jaminan.”

Kalimat itu bukan kutipan dari seorang ulama dalam forum ilmiah, melainkan dari seorang tokoh yang tengah gelisah menghadapi gelombang kritik terhadap klaim keturunan Nabi Muhammad SAW yang kerap dikaitkan dengan kelompok elite keagamaan tertentu. Sekilas, terdengar tegas. Tapi jika dikupas, justru menyimpan masalah serius: sebuah pembungkaman nalar dalam ruang diskusi ilmiah.

*Antara Ketaatan dan Keberanian Bertanya*

Perdebatan soal nasab bukanlah barang baru. Namun dalam beberapa tahun terakhir, isu ini bergema kembali setelah sejumlah peneliti, termasuk KH Imaduddin Utsman al Bantani, mengungkapkan kajian lintas ilmu yang mempertanyakan keabsahan garis keturunan Ba’alwi terhadap Nabi Muhammad SAW. Imaduddin tak sendirian. Ia mengutip hasil kajian genetika dari Dr. Sugeng Sugiarto di Indonesia, hingga Prof. Michael Hammer dari University of Arizona di Amerika Serikat—tokoh penting dalam studi haplogroup Y-DNA J1 yang diakui sebagai marker keturunan Ibrahim AS.

Namun alih-alih disambut dengan dialog akademis, sebagian kalangan justru menanggapinya dengan nada amarah. Argumen ilmiah dibalas dengan retorika kuasa: “Diam saja! Serahkan pada PBNU!”

Padahal, PBNU sendiri bukanlah lembaga validasi nasab. Ia adalah ormas keagamaan yang bergerak dalam dakwah, sosial, dan pendidikan. Menjadikannya sebagai satu-satunya hakim perkara nasab sama saja seperti meminta Persatuan Sepak Bola Indonesia mengurus perkara genetika.

*Gelar Tak Penting, Tapi Ilmu?*

Sering kali, dalam debat semacam ini, muncul argumen bahwa gelar akademik bukan jaminan kebenaran. Ini benar. Tapi kemudian, menjadikan itu alasan untuk menolak keseluruhan isi riset tanpa membaca atau menyanggah substansinya adalah bentuk lain dari anti-intelektualisme. Ilmu tak selalu butuh gelar, tapi ia butuh data, metode, dan logika.

KH Imaduddin, dalam penelitiannya, menelusuri inkonsistensi nama “Ubaidillah” dalam berbagai manuskrip tua. Didukung oleh pendapat Prof. Dr. Manachem Ali, seorang filolog dari Universitas Airlangga, ia menunjukkan bahwa nama tersebut tak muncul dalam sumber abad ke-4 H, melainkan baru diklaim berabad-abad setelahnya. Belum lagi analisis genetika yang menunjukkan bahwa keturunan Ba’alwi bukanlah pemilik haplogroup J1, melainkan berasal dari haplogroup L, J2, hingga E-M35—yang secara ilmiah tidak berafiliasi dengan garis Ibrahim atau Nabi Muhammad SAW.

Apakah itu tidak cukup untuk membuka ruang diskusi?

*Mewaspadai “Fatwa Kuasa”*

Pernyataan agar “diam saja” dan menyerahkan pada satu otoritas memperlihatkan apa yang oleh sosiolog Pierre Bourdieu disebut sebagai kuasa simbolik—sebuah kekuasaan yang tak kasat mata tapi mempengaruhi bagaimana kebenaran dipersepsikan. Dalam hal ini, klaim keturunan menjadi alat otoritas religius. Mereka yang mempertanyakannya akan dianggap melawan tatanan, tak sopan, atau tak cukup ngaji.

Padahal, sejarah Islam justru dibangun oleh orang-orang yang berani bertanya. Umar bin Khattab, sahabat Nabi, pernah menginterupsi khutbah Nabi karena ingin memastikan hukum mahar tidak keliru. Ibn Abbas mengoreksi fatwa khalifah. Bahkan Imam al-Ghazali menyusun Tahafut al-Falasifah sebagai bentuk kritik kepada filsuf muslim terdahulu.

Jadi, mengapa hari ini mempertanyakan nasab dianggap dosa intelektual?

*Penutup: Ilmu Tak Butuh Restu Kekuasaan*

Kebenaran tak mengenal hierarki. Ia tak tunduk pada struktur, gelar, apalagi tekanan sosial. Jika sebuah klaim, seperti nasab Ba’alwi dari Nabi Muhammad SAW, memang benar, seharusnya bisa bertahan diuji dalam ruang debat yang sehat—bukan malah meminta lawan diam.

Mereka yang hari ini membungkam suara berbeda dengan alasan belum cukup “katam ngaji”, barangkali lupa: Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya bukan dengan gelar dan jabatan, tapi dengan kebenaran yang disampaikan penuh hujjah.

Dan sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani berpikir.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *