*Krisis Otoritas Ilmiah: Dari Bahsul Masail Klasik Menuju Kultur “Husnudzon” Tanpa Dalil*
Oleh Redaksi Walisongobangkit.com
Bahtsul Masail, sebuah forum diskusi yang dulunya menjadi tempat bagi ulama dan cendekiawan Muslim dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) untuk merumuskan solusi atas berbagai masalah keagamaan, kini tampaknya menghadapi pergeseran yang cukup signifikan dalam hal metode berijtihad dan bahsul masail. Fenomena ini perlu dikaji dengan seksama, karena perubahan tersebut berpotensi mengubah wajah ijtihad dan pemikiran keagamaan yang selama ini menjadi warisan berharga bagi umat Islam di Indonesia.
*Dari Istinbath ke Bahtsul Masail*
Bahtsul masail bukanlah istilah yang muncul begitu saja. Dalam tradisi pesantren NU, istilah ini menggantikan dua konsep besar dalam ilmu fiqih dan hukum Islam: istinbath (pengambilan hukum) dan ijtihad. Kiai Sahal Mahfudh, seorang ulama besar NU, pernah menegaskan bahwa bahtsul masail adalah penerapan praktis dari istinbath dan ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok ulama di dalam forum jama’i—yakni, forum yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Konsep ini sangat khas NU, karena mengedepankan kolaborasi lintas disiplin keilmuan, seperti fiqih, ushul fiqih, hadist, dan tafsir, untuk menyelesaikan permasalahan umat yang belum pernah dibahas secara mendalam oleh ulama-ulama terdahulu.
Namun, keunikan ini kini semakin tergerus oleh pergolakan sosial dan politik yang semakin memengaruhi jalannya diskusi keagamaan dalam tubuh NU.
*Lima Keunikan Bahtsul Masail*
Dalam perjalanan sejarahnya, bahtsul masail NU memiliki lima keunikan penting yang membedakannya dengan forum keagamaan lainnya. Pertama, forum ini bersifat jama’i—melibatkan banyak ulama dari berbagai disiplin ilmu untuk melihat sebuah masalah secara komprehensif. Kedua, bahtsul masail tidak mengutip langsung dari Al-Qur’an dan hadist, melainkan merujuk kepada pendapat ulama terdahulu yang disesuaikan dengan konteks zaman. Ketiga, menggunakan pendapat ulama sebagai qouliyah (pendapat yang bersumber dari teks-teks klasik), yang kemudian diadaptasi untuk menjawab masalah yang dihadapi umat. Keempat, forum ini selalu mengutip teks-teks berbahasa Arab, tetapi sering kali melupakan karya-karya besar ulama NU yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau Pegon. Kelima, forum ini tidak memiliki anggota tetap, namun peserta yang hadir dalam setiap forum bahtsul masail selalu memiliki kompetensi ilmiah yang memadai.
*Pergeseran Paradigma: Dari Kritis ke Kompromistis*
Namun, sayangnya, paradigma bahtsul masail saat ini menghadapi perubahan drastis, terutama dalam mengakomodasi pertanyaan-pertanyaan kritis dari publik yang berkenaan dengan klaim-klaim sejarah dan nasab tertentu, seperti klaim Klan Ba’alwi yang mengaku sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW.
Perubahan besar ini tidak terlepas dari pengaruh ideologi khusnudzon (prasangka baik), yang kini banyak diterapkan dalam diskusi bahtsul masail. Dalam prakteknya, jika ada pihak yang mengemukakan pandangan yang berbeda atau mengkritisi klaim-klaim tersebut, mereka dengan mudah dicap sebagai pemecah belah umat. Pandangan-pandangan ini seringkali diabaikan atau dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan umat, tanpa ruang untuk perdebatan ilmiah yang sehat.
Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam, perdebatan dan ijtihad adalah bagian dari proses mencari kebenaran. Menyembunyikan kebenaran atau tidak memberikan ruang untuk diskusi yang sehat justru bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hadist Nabi Muhammad SAW, kita diajarkan bahwa setiap ilmu yang diketahui oleh seorang ahli, harus disampaikan kepada umat, bukan disembunyikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadist:
“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui, namun dia menyembunyikannya, maka dia akan diberi tali kekang dari neraka pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
*Kritik terhadap Proses Keputusan Bahtsul Masail*
Yang patut dipertanyakan adalah mengapa kini keputusan-keputusan bahtsul masail sering kali bersifat kompromistis dan mengarah pada keputusan yang lebih banyak didasarkan pada khusnudzon daripada analisis ilmiah yang mendalam. Dengan mengesampingkan aspek kritis dan tidak memberikan ruang bagi penyampaian kebenaran secara terbuka, kita justru mengorbankan integritas intelektual yang telah dibangun dalam tradisi NU selama berabad-abad.
Pertanyaan publik terkait klaim-klaim nasab, misalnya, merupakan isu yang sangat penting untuk dibahas secara terbuka. Jika hal ini disembunyikan hanya karena alasan menjaga keharmonisan atau kesatuan, kita dapat menilai bahwa ada kepentingan yang lebih besar di baliknya yang bisa saja merugikan umat Islam itu sendiri.
*Menegakkan Kebenaran dalam Bahtsul Masail*
Sebagai umat yang mengedepankan ilmiah dan rasionalitas, sudah saatnya bahtsul masail kembali pada prinsip dasar yang murni: menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan dalil yang sahih dan kajian yang objektif. Kebenaran tidak boleh disembunyikan demi menjaga citra atau kekuasaan tertentu. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban para ulama dan ahli ilmu untuk memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap pandangan, selama didasarkan pada nalar ilmiah dan dalil yang valid.
Bahtsul masail NU harus kembali menjadi forum yang tidak hanya mencerminkan keilmuan Islam yang mendalam, tetapi juga tempat di mana keberagaman pemikiran dihargai dan diakomodasi dengan bijaksana. Bukan sebaliknya, menjadi tempat bagi konsensus yang hanya melahirkan keputusan yang tidak adil.
*Penutup*
Sebagai generasi penerus, kita wajib menjaga dan mengembangkan tradisi keilmuan ini, memastikan bahwa setiap keputusan yang dihasilkan benar-benar mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan yang murni, dan bukan pada kepentingan politik atau kekuasaan sesaat. Kebenaran adalah hak setiap umat, dan tugas kita sebagai ilmuwan dan umat Islam adalah untuk terus mencarinya, bukan untuk menyembunyikannya.
Catatan redaksi: Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mendorong dialog yang sehat dan konstruktif di kalangan umat Islam, serta untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya keilmuan yang objektif dan tidak terbelenggu oleh kepentingan tertentu.