*PWI-Laskar Sabilillah: Jalan Sunyi Melawan Perbudakan Spiritual*
Oleh Redaksi Walisongobangkit.com
Di tengah derasnya arus klaim historis dan spiritual yang kerap menyimpang dari nalar serta fakta sejarah, sebuah organisasi bernama Perjuangan Walisongo Indonesia atau PWI-Laskar Sabilillah hadir sebagai respons perlawanan dari masyarakat akar rumput, khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini lahir bukan untuk membenturkan, melainkan untuk memperkuat dan memurnikan kembali identitas keislaman serta kebangsaan Indonesia yang selama ini dikaburkan oleh narasi tunggal warisan kolonial dan feodalisme spiritual.
*Mengoreksi Distorsi Sejarah*
Selama bertahun-tahun, masyarakat Indonesia secara luas dicekoki narasi sejarah yang berporos pada tokoh-tokoh dari wilayah Hadramaut, khususnya klan Ba’alwi, yang mengklaim diri sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Narasi ini, dalam catatan beberapa sejarawan dan peneliti modern, ternyata tidak berdiri di atas dokumen sejarah yang kokoh maupun bukti ilmiah yang dapat diverifikasi.
Dalam sejumlah kasus, klaim tersebut bahkan telah meluas ke berbagai aspek kebangsaan—dari pendirian organisasi keagamaan seperti NU, pengakuan silsilah para ulama besar Nusantara, hingga pencatutan nama-nama tokoh pahlawan nasional—semuanya dikaitkan kembali ke satu titik: Tarim, Hadramaut. Dalam pusaran narasi ini, tokoh-tokoh pribumi hanya menjadi pelengkap, bukan pelaku utama.
Sejumlah catatan akademik kontemporer dari para pakar filologi, sejarah, hingga genetika seperti KH Imaduddin Utsman al Bantani, Prof. Dr. Manachem Ali, Dr. Sugeng Sugiarto, dan Dr. Michael Hammer menunjukkan bahwa klaim-klaim tersebut sangat layak untuk ditinjau ulang secara ilmiah. Kesesuaian antara data sejarah, manuskrip, dan hasil penelitian genetik menunjukkan adanya kejanggalan yang tidak dapat diabaikan.
*Ketika Perjuangan Dicap Perpecahan*
Keberadaan PWI-Laskar Sabilillah, yang anggotanya mayoritas berasal dari warga NU, bukanlah untuk menciptakan konflik horizontal, melainkan untuk mengembalikan kesadaran sejarah bangsa dan marwah para ulama pribumi. Namun, seperti halnya sejarah tokoh-tokoh pembaru dalam dunia Islam maupun Indonesia, gerakan ini pun tak luput dari stigmatisasi.
PWI-Laskar Sabilillah kerap dituduh sebagai pemecah belah umat. Narasi ini tak jarang datang dari mereka yang masih memandang “barokah” secara feodal, bukan rasional; dari mereka yang belum merdeka dari belenggu spiritual yang justru menghambat kemajuan umat.
Padahal, gerakan ini didirikan dengan dasar ideologi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, dan berpegang pada konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam berbagai aktivitasnya, PWI aktif melakukan pendidikan sejarah, pelurusan silsilah, penyelamatan makam ulama-ulama asli Nusantara yang dimanipulasi, serta perlindungan aset-aset umat.
*Menolak Perbudakan, Mengangkat Martabat*
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT mengingatkan tentang jalan yang mendaki dan sulit, yakni “membebaskan hamba sahaya” (QS Al-Balad: 11-13). Tafsir kebebasan itu tidak hanya dalam makna fisik, tetapi juga spiritual dan intelektual. Perjuangan membebaskan masyarakat dari feodalisme spiritual—di mana seseorang merasa lebih suci, lebih berhak mengatur umat hanya karena klaim darah—merupakan bagian dari jihad intelektual yang suci.
PWI-Laskar Sabilillah berdiri di jalan yang sukar itu. Jalan yang sunyi, berat, dan berliku. Namun mereka tetap berjalan, demi menyelamatkan sejarah, menyelamatkan martabat ulama, dan membangkitkan kesadaran umat Islam bahwa kemuliaan tidak diwariskan oleh darah, tetapi oleh ilmu, akhlak, dan perjuangan.
*Penutup*
Sejarah tidak pernah tunggal, dan klaim tanpa bukti bukanlah kebenaran. Justru karena cinta kepada Rasulullah SAW, kepada ulama-ulama kita yang telah berjasa, dan kepada bangsa ini, maka kebenaran harus ditegakkan. Dan bila sebuah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dituduh sebagai perpecahan, maka mungkin kita perlu bertanya kembali: siapa sebenarnya yang membelah umat dengan narasi dusta selama ini?
*Wa Allahu A’lam.*
Catatan redaksi: Artikel ini ditulis untuk tujuan edukatif dan historis, tidak dimaksudkan untuk menyerang kelompok atau individu tertentu. Semua pihak dipersilakan memberikan klarifikasi atau tanggapan yang berimbang dan argumentatif.