*Kritik Ilmiah atas Klaim Nasab: Antara Syuhrah dan Dalil dalam Kasus Ba’alwi*
Oleh: Team Redaksi Walisongobangkit.com
Tulisan ini disusun sebagai tanggapan terhadap pernyataan Lora Isma’il dan Syekh Kholil Ibrahim, penulis kitab Muqoddimah fi Ilmi al-Ansab, terkait klaim kesinambungan nasab Ba’alwi kepada Nabi Muhammad SAW.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa nasab Ba’alwi mulai ditulis dalam sejumlah kitab sejak abad ke-9 Hijriyah (sekitar tahun 895 H), dan terus berlanjut pada abad ke-10, 11, hingga abad ke-14 H. Namun, yang sangat perlu digarisbawahi adalah bahwa hampir seluruh penulis kitab-kitab tersebut merupakan bagian dari klan Ba’alwi sendiri. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang obyektivitas penulisan dan validitas sumber primer dalam penetapan nasab tersebut.
Sejarah mencatat bahwa nama Ubaidillah—yang diklaim sebagai anak dari Ahmad bin Isa—tidak tercatat sama sekali selama lebih dari lima abad setelah wafatnya Ahmad bin Isa pada tahun 345 H. Fakta ini menjadi anomali yang tidak dapat diabaikan. Dalam ilmu sejarah dan ilmu nasab (ilmu al-ansab), absennya catatan primer selama lima abad adalah indikasi kuat terputusnya silsilah.
—
*Nasab Tanpa Sumber Primer: Tidak Sahih Menurut Kaidah Ushul*
Kitab Al-Bahr al-Muhith karya Imam Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H) menyebutkan kaidah penting:
> “المثبت للحكم يحتاج إلى الدليل بلا خلاف، ولا يجوز نفي الحكم إلا بالدليل كما لا يجوز إثباته”
“Pihak yang menetapkan suatu hukum wajib menyertakan dalil, tanpa perbedaan pendapat; sebagaimana tidak boleh menafikan hukum tanpa dalil, begitu pula tidak boleh menetapkannya tanpa dalil.”
Dengan kata lain, beban pembuktian (burden of proof) berada pada pihak yang mengklaim. Maka, menetapkan seseorang sebagai keturunan Nabi SAW tanpa dalil yang valid tidak bisa dibenarkan secara syar’i maupun ilmiah.
—
*Kemunculan Nama Ubaidillah dan Kosidah Fiktif*
Nama Ubaidillah untuk pertama kalinya disebut sebagai anak dari Ahmad bin Isa oleh Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w. 895 H) dalam kitab al-Barqah al-Musyriqah. Ia merujuk pada sebuah kasidah yang ditulis oleh Syekh Jamaluddin al-Hadrami—seorang penyair sezamannya—yang memuji seseorang bernama Abdullah bin Abu Bakar. Namun, kesimpulan bahwa Abdullah adalah Ubaidillah merupakan tafsir spekulatif yang tidak didukung oleh catatan nasab kredibel sebelumnya.
KH Imaduddin Utsman al-Bantani, dalam penelitiannya, telah menunjukkan bahwa sosok Abdullah yang disebut dalam al-Suluk karya al-Jundi (w. 730 H) tidak dapat dipersamakan dengan Ubaidillah dalam al-Barqah. Ini karena tidak ada satu pun ulama nasab klasik seperti Imam Fakhruddin al-Razi dalam al-Syajarah al-Mubarokah yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Sebaliknya, ketiga anak Ahmad yang dikenal dalam sejarah adalah: Muhammad, Ali, dan Husain.
—
*Syuhrah wal Istifadhoh: Tidak Cukup sebagai Dalil Nasab*
Prinsip Syuhrah wal Istifadhoh (ketenaran dan popularitas nasab) memang dikenal dalam kajian ilmu nasab. Namun, prinsip ini hanya berlaku jika didukung oleh sumber primer yang otentik. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam Lisan al-Mizan, “Popularitas tidak dapat menggugurkan keharusan dalil.”
Dengan demikian, syuhrah yang berdiri di atas fondasi penetapan yang tidak sahih (itsbat tanpa dalil) adalah syuhrah semu. Klaim yang berdiri di atas mimpi, kosidah pujian, atau perkataan tanpa sanad yang jelas tidak dapat dianggap valid secara syar’i, apalagi dijadikan dasar untuk menetapkan nasab kepada Rasulullah SAW.
—
*Nasab yang Tidak Sahih: Batal Otomatis*
Analogi fiqih menyebut bahwa jika seseorang salat tanpa wudhu, maka salatnya otomatis batal meskipun tidak ada gangguan atau pembatal lainnya. Demikian pula dalam kasus ini: jika itsbat nasab Ba’alwi kepada Nabi SAW dilakukan tanpa dalil yang valid, maka nasab itu otomatis gugur tanpa perlu menunggu pembatal lain.
Maka, komunikasi WhatsApp antara Lora Isma’il dan Syekh Kholil Ibrahim yang mencoba menguatkan silsilah Ubaidillah selama lima abad yang hilang itu, justru mempertegas ketiadaan sumber primer. Ini menjadi bukti bahwa nasab Ba’alwi bukanlah hasil kesinambungan dokumentasi historis, melainkan hasil tafsir belakangan.
—
*Bandingkan dengan Nasab Sahih*
Nasab tokoh-tokoh besar seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan para keturunan Sayyidah Fatimah RA selalu disusun dengan rapi berdasarkan sumber-sumber sezaman yang bisa diverifikasi. Bahkan lembaga seperti Rabithah Alawiyah pun mensyaratkan adanya dokumen sezaman dalam proses verifikasi nasab, terutama ketika menyangkut keturunan para Wali Songo.
—
*Penutup*
Penetapan nasab bukanlah soal perasaan atau prasangka baik (husnuzhan), melainkan harus berdasarkan bukti yang valid dan dapat diverifikasi. Karena itu, penting bagi umat Islam untuk bersikap kritis dan tidak menerima klaim nasab hanya karena populer atau diwariskan secara turun-temurun tanpa dasar yang kuat.
Sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) dalam Talbis Iblis, “Betapa banyak manusia tertipu oleh warisan yang tidak bersumber.” Maka marilah kita bersikap ilmiah dan adil dalam mengkaji klaim-klaim nasab, agar kebenaran tetap terjaga, dan kehormatan Rasulullah SAW tidak diklaim oleh mereka yang tidak memiliki hubungan valid dengannya.
WaAllahu A‘lam.