Membela Kebenaran, Bukan Kultus Individu: Klarifikasi dan Sanggahan atas “Lima Maklumat Ansor Jatim”

 

*Membela Kebenaran, Bukan Kultus Individu: Klarifikasi dan Sanggahan atas “Lima Maklumat Ansor Jatim”*

Oleh: Redaksi Walisongobangkit.com

 

Dalam menanggapi tulisan berjudul “Lima Maklumat Ansor Jatim, Jaga Marwah Ulama NU” yang ditulis oleh H. Musaffa Safril, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, perlu disampaikan sebuah klarifikasi kritis dan sanggahan berbasis ilmiah, historis, dan maqashid Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) agar tidak terjadi pembiasan makna “menjaga ulama” menjadi “mengkultuskan jabatan.”

Sumber : https://timesindonesia.co.id/kopi-times/540693/gp-ansor-jatim-jaga-marwah-ulama-nu

 

*1. Menjaga Ulama Tidak Berarti Membungkam Kebenaran*

Ulama dalam pandangan ASWAJA Sunni bukan sosok yang imun dari kritik. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan pentingnya kritik terhadap penguasa dan ulama yang menyimpang. Al-Imam Ibnul Qayyim, meskipun bukan dari kalangan kita, juga menyampaikan bahwa ulama yang menyimpang bisa lebih berbahaya daripada pemimpin zalim, karena mereka menyesatkan dengan kedok agama.

Menjaga ulama berarti menjaga mereka dari kesalahan dan mengingatkan mereka ketika khilaf, bukan menjaga citra atau simbolik semata. Kritik terhadap KH Miftachul Akhyar bukan penghinaan, melainkan bentuk amar makruf nahi munkar yang dijamin dalam Al-Qur’an:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar” (QS. Ali-Imran: 110).

 

*2. Kecintaan pada Ulama Bukan Berarti Loyalisme Buta*

Dalam tradisi NU yang asli (bukan yang telah disusupi agenda kekuasaan), ada prinsip penting: al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah – menjaga warisan yang baik dan mengambil hal baru yang lebih maslahat. Kritik konstruktif adalah bagian dari al-jadid al-ashlah. Jika ada kebijakan atau pernyataan dari Rois Am PBNU yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ASWAJA, wajar bila umat menyuarakan kritik dengan adab.

 

*3. Mengklarifikasi Posisi PWI-LS Secara Objektif*

Organisasi PWI-LS sudah menyatakan dengan tegas bahwa video yang dikutip dalam maklumat GP Ansor bukanlah representasi resmi organisasi. Bahkan mereka telah mengklarifikasi bahwa pernyataan tersebut datang dari individu yang bukan struktural. Dalam Ushul Fiqh, kita mengenal kaidah:

“La yunsabu ila sakitin qawl – Tidak disandarkan suatu perkataan kepada orang yang diam.”

Apalagi jika perkataan bukan berasal dari otoritas resmi, maka menyandarkannya pada organisasi jelas merupakan bentuk iftira’ (tuduhan palsu).

 

*4. PWI-LS Tidak Pernah Mengklaim sebagai Banom NU*

Dalam bantahan resmi, PWI-LS tidak mengklaim dirinya sebagai bagian struktural NU. Maka framing bahwa mereka “mengaku-ngaku” adalah narasi menyesatkan. Sikap ini tidak sesuai dengan adab tabayyun yang diajarkan Rasulullah SAW:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6).

 

*5. Marwah NU Bukan pada Jabatan, Tapi Pada Prinsip*

GP Ansor Jatim menyebut bahwa “menyerang Rois Am berarti merusak kesatuan umat”. Ini adalah bentuk personifikasi organisasi, mengerdilkan NU ke dalam satu sosok pejabat. Padahal dalam sejarah NU, banyak kiai besar seperti KH MA Sahal Mahfudz, KH Hasyim Asy’ari, hingga KH As’ad Syamsul Arifin yang membuka ruang kritik dan introspeksi.

 

*6. Ulama Aswaja Tidak Pernah Melarang Kritik Ilmiah*

Imam al-Syafi’i berkata:

“Pendapatku benar tapi mungkin salah, dan pendapat orang lain salah tapi mungkin benar.”

Inilah prinsip ASWAJA sejati: adab dalam perbedaan, bukan pelarangan kritik. Kita mencintai ulama bukan dengan membentengi mereka dari kritik, tetapi dengan menjaga mereka dari kebanggaan palsu dan kultus pribadi.

 

*7. Menghidupkan Tradisi Keilmuan, Bukan Militerisasi Loyalitas*

Klaim bahwa GP Ansor dan Banser harus berada “di garda terdepan menghadapi kelompok yang menyerang otoritas keulamaan NU” berbahaya jika ditafsirkan secara represif. Ini dapat menjadi legitimasi pembungkaman terhadap wacana keilmuan dan kritik yang sehat.

NU dibangun bukan untuk membela pribadi, tapi menjaga agama. Maka peran GP Ansor dan Banser adalah menjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan, bukan melindungi figur semata dari koreksi umat.

 

*Kesimpulan: Kembalilah kepada Khittah NU*

Khittah NU 1926 adalah semangat kembali ke pesantren, kepada prinsip keumatan, bukan pada agenda politis dan struktural. PWI-LS mengajak kita semua untuk bersikap adil, ilmiah, dan berakhlak. Mari bedakan kritik dengan caci maki, dan jangan gunakan maklumat organisasi untuk membungkam nalar kritis umat Islam.

NU bukan milik satu kelompok, satu jabatan, atau satu individu. NU adalah milik umat yang mencintai ilmu, ulama, dan kebenaran.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *