Menimbang Ulang Tiga Doktrin Populer Keturunan Ba’alwi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis

*“Menimbang Ulang Tiga Doktrin Populer Keturunan Ba’alwi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis”*

Oleh: Tim Redaksi Walisongobangkit.com


Setidaknya ada Tiga Klaim Teologis yang Perlu Dikritisi secara Kritis dan Ilmiah

Dalam ruang publik keislaman Indonesia, berkembang sejumlah klaim dari sebagian kelompok yang mengidentifikasi diri mereka sebagai “Habaib” atau keturunan Nabi Muhammad SAW. Meskipun penghormatan kepada keturunan Nabi merupakan bagian dari tradisi Islam, beberapa klaim yang diajukan perlu dikaji ulang secara kritis agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami ajaran agama. Setidaknya, terdapat tiga doktrin atau pernyataan yang sering dikutip dan perlu ditelaah secara hati-hati.

 

*Doktrin Pertama: Klaim sebagai Ahlul Bait Nabi*

Klaim bahwa para Habaib adalah Ahlul Bait Nabi sering dikaitkan dengan hadits tentang Imam Mahdi:

“… seorang lelaki dari ahli baitku, namanya seperti namaku dan nama ayahnya seperti nama ayahku, Muhammad bin Abdillah…” (HR Abu Dawud, No. 9435).

Hadits ini sering dijadikan dalil bahwa siapa pun yang memiliki hubungan nasab dari Nabi Muhammad SAW dapat disebut Ahlul Bait. Namun, secara gramatikal, hadits ini menggunakan istilah “min ahli baiti” (dari Ahlul Bait-ku), bukan “huwa minhum” (dia adalah bagian dari mereka). Dalam tata bahasa Arab, ungkapan “dari” tidak selalu berarti “adalah”, melainkan bisa berarti “berasal” atau “berketurunan”. Sebagai analogi, manusia berasal dari tanah, namun tidak disebut sebagai tanah itu sendiri.

Definisi Ahlul Bait menurut beberapa mufasir klasik, seperti yang dijelaskan dalam tafsir Al-Qurthubi dan Al-Thabari, merujuk pada mereka yang hidup bersama Nabi dalam satu rumah tangga (bait) dan memiliki hubungan keluarga langsung, seperti istri-istri dan anak-anak Nabi. Maka, istilah Ahlul Bait tidak serta merta dapat diwariskan turun-temurun tanpa batas generasi atau terpisah jauh dari zaman Nabi.

 

*Doktrin Kedua: Klaim sebagai Itrah Ahlul Bait yang Harus Diikuti*

Klaim ini biasanya bersandar pada hadits Tsaqalain:

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah dan Itrah Ahlul Baitku…” (HR Ahmad).

Kata itrati di sini sering diartikan sebagai “kerabat dekat”. Namun, dalam bahasa Arab, itrah tidak hanya menunjuk pada keturunan biologis, tetapi bisa juga merujuk pada kerabat karena pernikahan (mertua, menantu, ipar). Dalam konteks sejarah, para Khulafaur Rasyidin—Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—memiliki hubungan kekeluargaan erat dengan Nabi melalui ikatan pernikahan. Karenanya, mereka juga termasuk dalam kategori yang disebut itrah, dan pandangan Ahlus Sunnah menjadikan mereka panutan utama.

Jika merujuk pada hadits ini, maka yang dimaksud itrah adalah mereka yang semasa hidup bersama Nabi dan mendapatkan bimbingan langsung, bukan sekadar berdasarkan keturunan jauh. Penafsiran yang menyempitkan makna itrah hanya pada kelompok tertentu dapat menimbulkan eksklusivisme dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam Islam.

 

*Doktrin Ketiga: Klaim Kesucian (Maksum) atas Diri Mereka*

Klaim kesucian ini biasanya mengacu pada potongan ayat dalam QS Al-Ahzab ayat 33:

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Namun, pemotongan ayat dari konteksnya dapat menyebabkan salah tafsir. Dalam tafsir Ibnu Katsir dan beberapa riwayat sahabat, dijelaskan bahwa ayat ini turun untuk istri-istri Nabi. Hal ini dapat dibaca dalam lanjutan ayat sebelumnya yang memuat kalimat: “Wahai istri-istri Nabi, janganlah kamu menampakkan perhiasan seperti zaman jahiliyah dahulu…”

Dengan demikian, ayat tersebut tidak membuktikan bahwa Ahlul Bait dalam arti luas (apalagi keturunan belakangan) bersifat maksum (terjaga dari dosa), melainkan merupakan seruan moral untuk bertakwa dan menjaga perilaku. Islam tidak mengajarkan kultus pribadi, bahkan terhadap figur seagung Nabi Muhammad SAW sendiri, yang dalam Al-Qur’an pun ditegur oleh Allah dalam beberapa peristiwa.

Menganggap seseorang suci dan tak boleh dikritik hanya karena memiliki hubungan nasab, justru membuka peluang penyalahgunaan otoritas agama dan bertentangan dengan semangat Islam yang egaliter.

 

*Penutup*

Kritik terhadap klaim-klaim ini bukanlah bentuk kebencian atau pelecehan terhadap nasab, melainkan upaya akademik dan keagamaan untuk mengembalikan pemahaman umat kepada prinsip tauhid dan keadilan. Dalam masyarakat modern yang terbuka dan demokratis, semua gagasan keagamaan harus bisa diuji secara rasional dan berdasarkan nash yang valid.

 

Menjaga kehormatan keturunan Nabi bukan dengan mengultuskan, tetapi dengan meneladani akhlak dan ajaran beliau—yakni sikap tawadhu, jujur, tidak merasa lebih suci, dan tidak membanggakan keturunan.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *