Mengungkap Simbolisme Gelap dan Kecenderungan Kultus dalam Klan Ba’alwi

*Mengungkap Simbolisme Gelap dan Kecenderungan Kultus dalam Klan Ba’alwi*

 

Dalam dunia simbol, tidak semua makna hadir sebagai cahaya. Ada pula yang tumbuh dalam bayang-bayang sejarah yang dipelintir, dalam narasi yang menjual nama besar demi otoritas semu. Salah satu simbol yang pernah mengisi halaman gelap sejarah adalah Baphomet, sosok kambing berkepala manusia yang oleh Éliphas Lévi—seorang okultis Prancis abad ke-19—diangkat sebagai lambang “keseimbangan antara terang dan gelap”. Namun sejarah mencatat, akar simbol ini punya kaitan janggal dengan penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW oleh propaganda Perang Salib, yang menyebut beliau dengan sebutan menyimpang seperti Bafometum.

Di sinilah muncul pertanyaan penting: Apakah ada warisan ideologis yang terus hidup dari simbol fitnah itu? Dalam beberapa narasi, kritik diarahkan kepada kelompok yang mengklaim diri sebagai keturunan Nabi SAW, namun justru dianggap sebagian kalangan sebagai mereduksi ajaran Islam menjadi klaim garis keturunan, bukan nilai-nilai profetik.

Salah satu sorotan datang kepada kelompok tertentu dalam Klan Ba’alwi. Kritik terhadap mereka bukan karena garis nasabnya semata, melainkan karena sebagian dari kelompok ini dinilai menjual simbolisme spiritualitas dalam pasar bebas ideologi, atau meminjam istilah tajam para akademisi: black market of ideology.

 

*Framing Simbolik dan Kultus Sosial*

Menurut pengamat sejarah simbolisme, Lévi bukan hanya menggambar Baphomet, tetapi membungkusnya dalam kerangka pseudo-ilmiah tentang rahasia kosmis. Ironisnya, narasi spiritual yang dibangun oleh sebagian figur klan religius di Indonesia juga terlihat mencampur antara klaim spiritualitas, pengkultusan nasab, dan manipulasi simbol-simbol ajaran tasawuf, tanpa dasar keilmuan dan adab akhlak kenabian.

Padahal, dalam pandangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah seperti Imam al-Ghazali maupun Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, menghormati Rasulullah SAW adalah dengan menjaga kemurnian ajaran beliau, bukan sekadar menonjolkan keturunan. Mengutip karya Tanbih al-Ghafilin, tindakan memelintir atau menyalahgunakan nama Nabi, baik secara eksplisit maupun simbolik, adalah bagian dari dosa besar yang bisa menjerumuskan pelakunya pada pelanggaran akidah.

 

*Genealogi atau Genealogika?*

Bagi sebagian pengkritik, apa yang dilakukan oleh kelompok yang mengklaim keturunan nabi namun tanpa landasan ilmiah genetik dan sejarah yang kuat, ibarat membangun identitas di atas puing narasi fiktif. Dalam istilah seorang cendekiawan sufi, “Tasawuf tanpa akhlak adalah jalan menuju kehancuran spiritual.” Alih-alih menyuarakan kasih sayang Nabi, sebagian justru memposisikan diri di atas umat, seolah-olah derajat mereka otomatis lebih tinggi hanya karena nasab.

 

*Antara Identitas dan Inferioritas Terselubung*

Psikolog Carl Jung pernah mengatakan bahwa simbol adalah jembatan menuju bawah sadar kolektif. Jika simbol itu dibangun dari fitnah dan ketakutan masa lalu, maka jembatan itu akan rapuh. Itulah yang ditakutkan para pemerhati keislaman moderat: bahwa simbol keturunan bisa berubah menjadi alat kultus, bukan cahaya petunjuk.

Secara sosiologis, gejala ini bisa dibaca sebagai bentuk inferiority complex spiritual: ketidakmampuan sebagian kelompok dalam menerima bahwa otoritas keagamaan tidak diwariskan secara otomatis melalui darah, tapi melalui ilmu, akhlak, dan kontribusi nyata kepada umat.

 

*Framing Agama Sebagai Komoditas Pop*

Fenomena ini juga tak lepas dari gaya baru pemasaran simbol keagamaan, yang dibungkus dalam narasi modern, kadang dikaitkan dengan karomah fiktif, pengalaman spiritual hiperbolik, hingga kemiripan dengan budaya subkultur kontemporer. Beberapa pengkritik menyebutnya sebagai “manajemen narasi spiritual” yang menjual sensasi, bukan substansi.

Namun Islam mengingatkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 42, “Janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil dan menyembunyikan yang haq padahal kamu mengetahuinya.” Ini adalah pesan yang tajam, bukan hanya untuk orientalis, tapi juga untuk siapa pun yang ingin memanfaatkan nama Nabi sebagai instrumen pengaruh duniawi.

 

*Penutup: Kembali ke Akar Risalah*

Apabila benar ingin menghidupkan semangat kenabian, maka langkah pertama adalah membersihkan hati dan narasi dari kepentingan duniawi, bukan memperdagangkan nama besar dengan bumbu spiritual palsu. Islam tidak berdiri di atas simbol semata, melainkan di atas “La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah”.

Menjadi keturunan Nabi bukanlah jaminan, apalagi jika akhlak, kejujuran intelektual, dan keberpihakan kepada kebenaran telah tergadaikan demi pamrih sosial. Dalam catatan sejarah, yang membela Nabi bukan hanya darahnya, tapi yang berjalan di atas ajarannya.

“Astaghfirullah, semoga kita semua diberi kejernihan dalam melihat kebenaran,” kata seorang ulama tua saat ditanya tentang fenomena ini.

“Karena hanya yang buta hati yang tak melihat cahaya,” sebagaimana Ibn Arabi mengingatkan.

Catatan Redaksi: Tulisan ini disusun dalam rangka kajian kritis terhadap gejala sosial-keagamaan, bukan untuk menyerang pribadi atau kelompok tertentu. Semua nama simbolik telah disamarkan atau digunakan dalam konteks akademik. Walisongobangkit.com menjunjung tinggi prinsip kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, dan menolak segala bentuk ujaran kebencian, fitnah, atau diskriminasi.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *