Tasawuf Kuburan dan Tradisi Ba’alwi: Beda Jalan dengan Kyai-Kyai NU

*Tasawuf Kuburan dan Tradisi Ba’alwi: Beda Jalan dengan Kyai-Kyai NU*

Tasawuf sebagai cabang spiritual dalam Islam berkembang dalam berbagai corak dan praktik. Di Indonesia, kita menyaksikan dua corak besar yang menonjol: tasawuf tradisional Nahdlatul Ulama (NU) dan tasawuf yang berkembang di kalangan klan Ba’alwi. Meski sama-sama mengaku berakar pada tasawuf sunni, keduanya menampilkan ekspresi keberagamaan yang berbeda, terutama dalam praktik ziarah, haul, dan penghormatan terhadap tokoh yang telah wafat.

*Tradisi Kuburan yang Dibawa dari Hadramaut*

Dalam catatan KH Imaduddin Utsman al Bantani, salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang wafat di kalangan Ba’alwi sangat dipengaruhi oleh tradisi Hadramaut. Misalnya, perayaan ziarah akbar ke makam Nabi Hud yang dilangsungkan tiap 10 Sya’ban. Tradisi ini melibatkan prosesi yang dimulai dengan wudu di sungai, pawai menuju tempat-tempat suci, pembacaan zikir bersama, dan penyampaian salam kepada arwah para nabi. Tradisi ini diakhiri dengan ziarah ke makam yang dipercaya sebagai makam Nabi Hud, dipimpin oleh tokoh adat masing-masing kabilah.

Model ziarah dan haul ini menjadi pola yang juga terlihat dalam pelaksanaan haul tokoh-tokoh Ba’alwi di Indonesia. Biasanya dilangsungkan di kompleks makam dengan penataan dekoratif dan pengaturan acara yang megah. Mimbar, bunga-bunga, payung berhias, hingga pawai menuju makam menjadi elemen yang khas.

*Ziarah dan Haul ala Kiai NU*

Sebaliknya, para kiai NU juga memiliki tradisi ziarah dan haul, tetapi dengan pendekatan yang lebih sederhana. Ziarah dilakukan secara khusyuk, biasanya singkat, dan haul diselenggarakan di pesantren atau rumah almarhum, bukan di area makam. Haul tersebut juga menjadi sarana pendidikan publik melalui pengajian, pembacaan tahlil, dan ceramah agama.

Tradisi ini menunjukkan bahwa para kiai NU tidak menempatkan makam sebagai pusat spiritualitas. Mereka menghormati tokoh yang wafat, namun tidak membangun ritual yang mengarah pada pengagungan fisik terhadap kubur.

*Perbedaan Falsafah dan Etika Tasawuf*

Dalam hal tasawuf, NU mengusung tasawuf sunni yang berakar pada ajaran Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Tasawuf ini menekankan akhlak, kesederhanaan, dan kepekaan sosial. Adapun sebagian kalangan Ba’alwi menampilkan ekspresi tasawuf yang lebih performatif dan simbolik, seperti penggunaan musik, tabuhan, dan tarian dalam kegiatan keagamaan—termasuk saat berada di dekat makam.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyatakan bahwa berjoget tidak haram, tetapi makruh bagi orang yang memegang kedudukan publik karena dapat mengurangi wibawa dan kehormatan pribadi (muru’ah). Dalam kitab fikih klasik seperti Fathul Mu’in, dijelaskan pula bahwa kebiasaan berjoget dapat membuat seseorang tidak sah menjadi saksi dalam akad nikah, karena dianggap tidak menjaga adab publik.

*Soal Muru’ah dan Budaya*

Sebagian pendukung tradisi joget atau tarian dalam konteks keagamaan beralasan bahwa itu bagian dari budaya lokal mereka. Namun, dalam tradisi ulama nusantara, menjaga wibawa (muru’ah) adalah bagian dari amanah keulamaan. Kiai-kiai NU, meski tidak mengharamkan musik religi atau kesenian tradisional, biasanya tidak turun langsung menari atau berjoget. Mereka tetap menjaga jarak simbolik antara kesenian rakyat dan posisi sosial keulamaannya.

Budaya memang penting, tetapi posisionalitas seorang ulama membuatnya memiliki tanggung jawab etis lebih tinggi dalam menjaga simbol dan perilaku. Menari di ruang publik dalam kapasitas keulamaan bisa menimbulkan ambiguitas yang kontraproduktif.

*Kesimpulan: Dua Tradisi, Dua Orientasi*

Tasawuf NU dan tasawuf Ba’alwi berjalan di dua jalur yang berbeda dalam ekspresi, meski keduanya mengklaim warisan tasawuf sunni. NU menekankan spiritualitas yang tenang, tidak mencolok, dan berbasis pesantren. Sedangkan ekspresi tasawuf Ba’alwi tampak lebih simbolik, ekspresif, dan berorientasi pada penghormatan fisik terhadap tokoh melalui makam.

Perbedaan ini bukan soal benar dan salah, tetapi menyangkut arah pendidikan spiritual masyarakat. Tradisi yang terlalu menekankan simbol dan visual, jika tidak dikendalikan, bisa bergeser dari substansi tasawuf itu sendiri—yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan akhlak, bukan hiasan kuburan.

*Catatan Redaksi*
Tulisan ini bertujuan sebagai bahan refleksi atas keragaman tradisi dalam Islam Indonesia. Kritik yang disampaikan bersifat kultural dan tidak ditujukan pada individu atau kelompok tertentu. Kebhinekaan dalam praktik keagamaan adalah realitas yang harus dipahami secara cerdas dan dewasa.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *