Rapor Merah: Rekam Jejak Kontroversial Oknum Habaib Ba’alwi dari Masa ke Masa

*Rapor Merah: Rekam Jejak Kontroversial Oknum Habaib Ba’alwi dari Masa ke Masa*

Tidak semua Habaib bersalah, namun kegagalan sebagian besar dari mereka untuk mengoreksi perilaku oknum di internalnya telah menimbulkan persoalan serius. Pembiaran tersebut, sadar atau tidak, telah melanggengkan praktik yang problematik sejak ratusan tahun silam.

*Abad 15: Rekonstruksi Nasab yang Diragukan*

Sejak abad ke-15, beberapa catatan menunjukkan munculnya klaim bahwa Ubaidillah—tokoh leluhur Ba’alwi—merupakan keturunan Sayyid Ahmad bin Isa dari Irak. Namun, data sejarah abad ke-4 hingga ke-9 Hijriah tidak mencatat secara otentik keberadaan jalur nasab ini. Penelitian modern berbasis genetika—khususnya analisis kromosom Y—menunjukkan ketidaksesuaian antara klaim keturunan ini dengan data biologis trah Alawiyyin.

*1750: Kudeta di Kesultanan Banten*

Di abad ke-18, sejarah mencatat keterlibatan tokoh Ba’alwi dalam dinamika politik lokal. Syarifah Fathimah dan menantunya, Syarif Abdullah, mengambil alih kekuasaan Sultan Zainul Arifin di Banten. Peristiwa ini memicu perlawanan bersenjata yang dipimpin Kyai Tapa dan Tubagus Buang hingga 1752.

*Abad 19: Fatwa yang Menguntungkan Kolonial*

Habib Usman bin Yahya, Mufti Betawi di era Hindia Belanda, tercatat mengeluarkan fatwa yang menolak jihad terhadap penjajahan. Sikap ini bertentangan dengan sejumlah kiai Nusantara yang telah lebih dulu mengeluarkan fatwa melawan Belanda, dan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam kala itu.

*Abad 20: Nama-Nama dalam Pemberontakan PKI*

Beberapa individu berlatar belakang Ba’alwi disebut-sebut terlibat dalam pemberontakan PKI. Di antaranya adalah D.N. Aidit, Ahmad Sofyan Baraqbah, dan Fahrul Baraqbah. Kendati mereka tidak mewakili keseluruhan Ba’alwi, keterlibatan ini tetap menimbulkan kontroversi.

*Abad 21: Ujaran, Konflik dan Polemik Baru*

Sejumlah ceramah dan pernyataan publik dari tokoh-tokoh habaib kembali memantik kontroversi:

• Habib Rizieq Shihab: Dalam berbagai orasi, ia kerap menyampaikan pernyataan yang menyinggung kepala negara, tokoh agama lain, hingga menyebut Walisongo dengan istilah tidak pantas.

• Habib Bahar bin Smith: Menyebut kiai yang bukan keturunan habaib dengan cercaan, dan menyatakan berguru pada satu habib lebih utama daripada puluhan kiai.

• Habib Taufiq Assegaf: Dalam ceramahnya pernah menyamakan kiai pro-pemerintah dengan binatang, serta meremehkan perjuangan Walisongo.

• Habib Hasan bin Ismail Al-Muhdor: Menyatakan maqam kewalian leluhur Ba’alwi lebih tinggi dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.

• Habib Raihan Al-Kadri: Menyebut kiai yang menikahi perempuan dari keluarga habib bukan sebagai kiai, melainkan dengan kata-kata yang merendahkan.

• Habib Novel bin Muhammad Al-Aidrus: Menyamakan orang yang mengkritik habib dengan sifat Iblis.

• Kasus-kasus lain seperti pembunuhan yang melibatkan Habib Ali Hinduan dan penolakan eksekusi hukuman mati sejak 2012, serta berbagai klaim silsilah sepihak yang mengubah sejarah figur seperti Pangeran Diponegoro, KRT Sumodiningrat, Panembahan Girilaya, dan lain-lain, turut memperkeruh citra habaib di mata publik.

*Problematika Nasab dan Identitas*

Penting dicatat, berbagai tindakan problematik ini bukan semata karena persoalan silsilah. Namun, ketika klaim nasab dijadikan alat legitimasi moral dan kekuasaan, maka kebenaran sejarah patut dibuka secara jujur dan ilmiah. Penelusuran DNA menunjukkan bahwa secara genetik, sebagian besar trah Ba’alwi yang berasal dari Hadramaut tidak menunjukkan kaitan biologis dengan jalur laki-laki Alawiyyin, keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayyidina Ali.

*Menyoal Kultus Keturunan*

Dulu, publik takut mengoreksi tokoh habaib karena khawatir dianggap “kualat” atau durhaka terhadap turunan nabi. Namun, Rasulullah sendiri bersabda, “Seandainya Fatimah putriku mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.” Prinsip keadilan dalam Islam tidak mengenal privilese berdasarkan garis darah. Apalagi jika garis darah itu sendiri terbukti secara ilmiah tidak valid.

*Penutup: Masyarakat Berhak Tahu*

Tulisan ini tidak lahir dari kebencian atau dendam. Ini adalah ajakan untuk membuka lembaran baru, agar publik berani berpikir kritis dan tidak lagi terjebak dalam romantisme keturunan. Di era transparansi dan literasi, penghormatan tidak bisa lagi dibeli hanya dengan gelar atau status turun-temurun. Yang harus dihormati adalah integritas, akhlak, dan keberpihakan pada kebenaran.

*Merdeka berpikir. Merdeka bersikap. Merdeka di negeri sendiri.*




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *