*Blangkon, Identitas, dan Stigma: Menjawab Tuduhan Dukun terhadap Pecinta Budaya*
Di tengah maraknya polemik mengenai keabsahan nasab sebagian kelompok yang mengklaim sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW, muncul bias-bias baru dalam bentuk stereotip dan pelecehan kultural. Salah satunya adalah tuduhan kepada pendukung KH Imaduddin Utsman al Bantani sebagai “dukun” hanya karena mereka bangga mengenakan blangkon dan busana tradisional Jawa.
Stigma tersebut tidak hanya keliru secara logika, namun juga memperlihatkan ketidaktahuan akan nilai-nilai sejarah, kebudayaan, dan kearifan lokal yang telah lama menjadi bagian dari perjalanan Islam di Nusantara.
*Blangkon: Bukan Atribut Mistis, tapi Warisan Budaya*
Blangkon bukanlah simbol kesyirikan, apalagi sihir. Ia adalah bagian dari pakaian adat laki-laki Jawa yang telah dipakai oleh para tokoh besar Islam seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, hingga Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Bahkan Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai juru dakwah akulturatif kerap menampilkan keislamannya dengan sentuhan budaya Jawa agar Islam diterima masyarakat setempat.
Blangkon bukan alat perdukunan. Ia adalah identitas budaya, sama seperti sorban atau imamah di tanah Arab. Sama halnya orang Arab memakai jubah bukan karena jubah itu bagian dari Islam, tetapi karena jubah adalah pakaian lokal mereka—begitu pula blangkon bagi orang Jawa.
*Antara Tuduhan Dukun dan Sihir dalam Tradisi Arab*
Ironisnya, tuduhan “dukun” sering kali datang dari kelompok yang justru akrab dengan praktik-praktik khurafat dan tahayul yang dibungkus dalam nama “karomah” atau “syafa’at”. Misalnya, sebagian pengikut tarekat ekstrem di kalangan Ba’alwi mengajarkan bahwa tokoh-tokoh mereka mampu memberi syafa’at mutlak, bahkan konon bisa “memadamkan api neraka”—seperti termuat dalam syair-syair Abu Bakar bin Salim.
Padahal, ulama Aswaja seperti Imam al-Ghazali dan Imam an-Nawawi menegaskan bahwa keyakinan berlebih terhadap kemampuan manusia yang melebihi batas kenabian atau melampaui akidah tauhid adalah bentuk penyimpangan dari ajaran Islam murni.
Jika memakai pakaian adat lokal seperti blangkon dijadikan indikator kesyirikan, maka sama adilnya jika memakai jubah dianggap “pura-pura wali” atau “dukun Arab”—sebuah logika yang jelas tidak adil dan penuh bias etnosentrisme.
*Islam Nusantara dan Identitas Kejawaan Para Sunan*
Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebagian Wali Songo, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat, menyandang gelar “Raden.” Gelar ini hanya diberikan pada bangsawan asli Jawa pada masa Majapahit. Artinya, dakwah Islam bukan hanya datang dari luar, tapi juga tumbuh dari dalam rahim bumi Nusantara, melalui para tokoh berdarah Jawa yang memahami dan mencintai budayanya sendiri.
KH Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim juga menekankan pentingnya ulama menjaga adat dan kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan syariat. Islam tidak datang untuk menghapus budaya, tetapi untuk memurnikannya.
*Tasawuf Aswaja: Bukan Mistik Murahan*
Tasawuf yang murni, sebagaimana diajarkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi, al-Ghazali, hingga Syaikh Yusuf Makassar, mengajarkan pembersihan jiwa, bukan glorifikasi keturunan atau kultus individu. Tasawuf tidak mengajarkan taklid buta terhadap figur yang mengklaim “ada sebelum kata ‘ada’,” sebagaimana syair-syair yang dinisbatkan kepada tokoh-tokoh tertentu yang bertentangan dengan akidah tauhid.
*Menjaga Martabat, Menolak Pelecehan*
Menuduh pecinta budaya sebagai “dukun” hanyalah bentuk perendahan martabat lokalitas. Lebih dari itu, ini adalah upaya pengaburan akar-akar sejarah Islam Nusantara yang inklusif, berbudaya, dan menghargai identitas.
Sudah saatnya masyarakat lebih cerdas memilah antara dakwah dan dominasi budaya asing. Kita harus waspada bahwa tidak semua yang bersorban dan berjubah itu bebas dari khurafat, sebagaimana tidak semua yang memakai blangkon adalah dukun.
Mereka yang mencintai blangkon adalah orang-orang yang bangga menjadi bagian dari bangsa besar: bangsa Jawa, bangsa Nusantara. Dan selama mereka berpegang pada tauhid yang lurus, maka kecintaan mereka pada budaya adalah bagian dari syiar Islam, bukan penyimpangan.
*Penutup*
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia tidak datang untuk menyeragamkan manusia, tapi untuk menyinari setiap budaya dengan cahaya kebenaran. Mari jaga warisan leluhur dengan akidah yang lurus dan hati yang lapang. Dan mari hentikan stigma—karena menuduh “dukun” pada pecinta budaya, sama halnya mencela sejarah Islam yang tumbuh dari rahim kebudayaan itu sendiri.