*”Jangan Salah Tafsir! Begini Maksud Asli Ucapan Syaikh Nawawi dan KH Hasyim Soal Nasab kabib klan ba’alwi”*
*Klaim Isbat Nasab Ba’alawi oleh Ulama Nusantara: Telaah Kritis Berdasarkan Kaidah Ilmu Nasab*
Penulis buku Keabsahan Nasab Ba’alawi, yakni Hanif Alatas dan kawan-kawan, menyebut bahwa sejumlah ulama Nusantara seperti Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Hasyim Asy’ari telah mengakui atau mengesahkan (mengitsbat) nasab Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, benarkah demikian? Tulisan ini mencoba menelaah secara objektif dengan merujuk kepada kaidah-kaidah dalam disiplin ilmu nasab.
*Syaikh Nawawi al-Bantani*
Hanif dkk. mengutip pernyataan dalam kitab Uqud al-Lujjain karya Syaikh Nawawi al-Bantani sebagai bukti isbat terhadap nasab Ba’alawi. Berikut kutipan yang dimaksud:
> النَّسَبُ يُثْبَتُ إِذَا وُجِدَ فِي رُقْعَةٍ أَوْ كِتَابٍ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَكْتُوبُ قَطْعِيَّ الدَّلَالَةِ عَلَى الْمَقْصُودِ وَلَيْسَ مِنَ الْمُؤْتَلِفِ، أَيْ مُتَشَابِهِ الْأَسْمَاءِ
(“Nasab dapat ditetapkan apabila ditemukan dalam catatan atau kitab dengan syarat bahwa tulisan tersebut secara pasti menunjukkan maksud (penetapan nasab), dan bukan dari jenis yang samar atau mirip nama.”) — Syaikh Khalil bin Ibrahim.
Adapun kutipan dalam Uqud al-Lujjain yang dijadikan dasar oleh Hanif dkk. adalah:
> (قَالَ سَيِّدُنَا) أَي أَكْرَمَنَا (الْحَبِيبُ) أَي الْمَحْبُوبُ السَّيِّدُ (عَبْدُ الله الْحَدَّادُ) صَاحِبُ الطَّرِيقَةِ الْمَشْهُورَةِ، وَالْأَسْرَارِ الْكَثِيرَةِ، فَاصْطِلَاحُ بَعْضِ أَهْلِ الْبِلَادِ أَنَّ ذُرِّيَّةَ رَسُولِ الله إِذَا كَانَ ذَكَرًا يُقَالُ لَهُ: حَبِيبٌ، وَإِنْ كَانَتْ أُنْثَى يُقَالُ لَهَا: حَبَابَةٌ، وَاصْطِلَاحُ الْأَكْثَرِ يُقَالُ لَهُ: سَيِّدٌ وَسَيِّدَةٌ.
Dalam teks tersebut, Syaikh Nawawi hanya menyebut istilah yang digunakan di berbagai negeri untuk menyapa dzurriyah Nabi, bukan untuk menetapkan nasab siapa pun secara langsung. Tidak terdapat penegasan bahwa beliau sedang menetapkan keabsahan nasab tokoh tertentu. Hal ini penting karena sesuai dengan kaidah para pakar nasab, penetapan nasab harus berasal dari sumber dan konteks yang secara eksplisit ditujukan untuk itu.
Sebagaimana ditegaskan:
> لَيْسَ كُلُّ مَنْ كَتَبَ فِي الْأَنْسَابِ حُجَّةً، وَلَيْسَ كُلُّ مَا كُتِبَ يَصِحُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ
(“Tidak semua orang yang menulis tentang nasab dapat dijadikan hujjah, dan tidak semua yang ditulis sah dijadikan dasar penetapan nasab.”) — Syaikh Khalil bin Ibrahim dalam Muqaddimah Jami’ al-Ansab.
Lebih lanjut, beliau menegaskan:
> لَا يُؤْخَذُ هَذَا الْعِلْمُ إِلَّا مِنْ مَصَادِرِهِ وَمَرَاجِعِهِ الْمُعْتَمَدَةِ
(“Ilmu ini (penetapan nasab) hanya dapat diambil dari sumber dan referensi yang otoritatif.”)
Dengan demikian, penggunaan kutipan dari kitab Uqud al-Lujjain yang bukan kitab nasab, dan yang konteksnya bukan penetapan nasab, tidak bisa dijadikan dasar sahih untuk menyimpulkan adanya pengesahan dari Syaikh Nawawi terhadap nasab Ba’alawi.
*Syaikh Hasyim Asy’ari*
Nama berikut yang diklaim oleh Hanif dkk. sebagai pengisbat nasab Ba’alawi adalah Syaikh Hasyim Asy’ari. Alasan mereka adalah bahwa Syaikh Hasyim pernah menyebut seseorang dengan gelar sayyid, yang mereka tafsirkan sebagai bentuk pengakuan atas keturunan Nabi. Namun, para ulama berbeda pandangan dalam hal ini.
Imam Taqiyuddin al-Subki menjelaskan secara tegas:
> وَكَأَنَّا إِذَا قُلْنَا: يَا شَرِيفُ أَوْ جَاءَ الشَّرِيفُ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مُوَافِقًا الشَّرِيفَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، فَإِذَا رَأَيْنَا مَكْتُوبًا لَيْسَ مَقْصُودُهُ إِثْبَاتَ النَّسَبِ لَمْ نَحْمِلْهُ عَلَى إِثْبَاتِ النَّسَبِ، وَلَا يَجُوزُ التَّعَلُّقُ بِهِ فِي إِثْبَاتِهِ إِذَا كَانَ الْمَقْصُودُ مِنْهُ غَيْرَهُ
(“Jika kita berkata: ‘Wahai Syarif’ atau ‘Telah datang Syarif’, dan sejenisnya, maka jika kita melihat tulisan yang maksudnya bukan penetapan nasab, tidak boleh kita artikan sebagai penetapan nasab, dan tidak sah dijadikan dasar.”) — Fatawa al-Subki.
Beliau juga menambahkan:
> فَكَثِيرٌ مِمَّنْ هُوَ مَشْهُورٌ بَيْنَ النَّاسِ بِالشَّرَفِ، لَوْ سُئِلْنَا أَنْ نَشْهَدَ لَهُ بِالشَّرَفِ لَمْ يُخَلِّصْنَا ذَلِكَ، مَعَ أَنَّا نُطْلِقُ عَلَيْهِ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ فِي مُخَاطَبَتِنَا لَهُ وَغَيْرِهِ بِالشَّرَفِ…
(“Banyak orang yang dikenal sebagai syarif di tengah masyarakat, namun jika diminta bersaksi atas nasabnya, kami tidak berani melakukannya, meski sehari-hari kami menyapanya dengan gelar tersebut.”)
Dari sini jelas bahwa penyebutan seseorang dengan panggilan sayyid atau syarif dalam tradisi sosial dan komunikasi keagamaan tidak otomatis menjadi bukti sahih penetapan nasab.
*Kesimpulan*
Klaim bahwa Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Hasyim Asy’ari telah mengisbat nasab Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidak didukung oleh kaidah baku dalam disiplin ilmu nasab. Apa yang disampaikan oleh para ulama tersebut tidak dapat dimaknai sebagai penetapan nasab dalam pengertian fikih dan ilmu nasab, melainkan hanya ithlaq al-takhathub (penyebutan dalam konteks penghormatan sosial).
Oleh karena itu, kehati-hatian sangat diperlukan dalam mengutip atau menafsirkan pernyataan ulama klasik, terlebih jika menyangkut persoalan krusial seperti penetapan garis keturunan Nabi SAW. Nasab bukan hanya perkara budaya atau penghormatan, melainkan juga bidang yang memiliki metodologi dan disiplin ilmu tersendiri.
—