Jejak Kegaduhan: Membaca Ulang Peran Klan Ba’alwi dalam Sosial Politik Indonesia

*Jejak Kegaduhan: Membaca Ulang Peran Klan Ba’alwi dalam Sosial Politik Indonesia*

Oleh Redaksi Walisongobangkit.com

 

Di banyak ruang sosial keislaman di Indonesia, nama Klan Ba’alwi kerap terasosiasi dengan simbol kesucian: dzurriyyah Nabi, penerus ajaran rahmatan lil ‘alamin. Namun, jejak historis dan dinamika sosial-politik menunjukkan sisi lain yang tidak selalu sejalan dengan narasi tersebut. Klaim keturunan mulia itu rupanya tidak serta-merta menghadirkan kemaslahatan di setiap ruang yang mereka masuki. Dalam banyak kasus, justru konflik, polarisasi, dan distorsi sejarah yang muncul.

 

*Ketika Keturunan Dijadikan Simbol Dominasi*

Kehadiran sebagian kelompok habaib di berbagai tarekat, majelis, bahkan institusi negara, tak jarang menimbulkan gesekan internal. “Bukan sekadar membawa ajaran,” kata Prof. Dr. Manachem Ali, filolog dari Universitas Airlangga. “Tetapi juga membawa klaim kuasa berbasis darah keturunan. Itu yang sering merusak tatanan yang sudah mapan.”

 

Temuan dari penelitian KH Imaduddin Utsman al Bantani, tokoh peneliti genealogi lintas disiplin, menunjukkan bahwa banyak manuskrip nasab Ba’alwi tidak memiliki dasar dokumentasi primer yang sahih. Ditambah lagi, uji genetika modern yang dilakukan oleh para pakar menunjukkan hasil yang mengejutkan.

 

*Ketidaksesuaian Genetik dengan Keturunan Nabi*

Beberapa studi genetika seperti oleh Dr. Michael Hammer (University of Arizona) dan Dr. Sugeng Sugiarto (genetika Indonesia) menunjukkan bahwa sebagian besar individu dari Klan Ba’alwi tidak memiliki haplogrup J1, yang secara ilmiah dihubungkan dengan garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, yang ditemukan adalah haplogrup G, yang dominan pada komunitas Yahudi Ashkenazi dan kelompok di sekitar Kaukasus.

 

Meskipun genetik tidak berdiri sendiri, namun dalam konteks verifikasi nasab—khususnya yang dijadikan basis otoritas religius—temuan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. “Sains harus digunakan sebagai alat klarifikasi, bukan dijauhi karena bertentangan dengan doktrin,” tegas Dr. Sugeng.

 

*Keterlibatan Tokoh Ba’alawi dalam PKI: Fakta yang Tak Terbantahkan*

Sisi lain yang jarang disorot adalah keterlibatan tokoh-tokoh dari klan Ba’alwi dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang dikenal anti-agama dan pernah memberontak terhadap negara.

 

*Beberapa tokoh penting di antaranya adalah:*

Ahmad Sofyan Baraqbah, tercatat sebagai anggota parlemen dari PKI.

Fahrul Baraqbah, kader penting partai tersebut yang aktif dalam pergerakan politik komunis.

Data ini memperkuat dugaan bahwa keterlibatan Klan Ba’alwi dalam PKI bukanlah insiden tunggal atau kebetulan historis, melainkan bagian dari kecenderungan politik mereka di masa itu. Bahkan, jika kita melongok sejarah tanah asal mereka di Timur Tengah, Hadramaut, wilayah ini menjadi bagian dari Republik Demokratik Rakyat Yaman (1967–1990)—negara komunis pertama di dunia Arab.

 

Pertanyaannya, bagaimana mungkin kelompok yang selama ini mengklaim sebagai penjaga ajaran Islam justru terlibat aktif dalam pergerakan komunis yang anti-Islam?

 

*Ulama Pribumi Jadi Korban, Bukan Habaib*

Catatan sejarah juga memperlihatkan bahwa korban terbesar dari pemberontakan dan kekejaman PKI adalah para ulama pribumi, khususnya dari kalangan NU dan Masyumi. Tokoh-tokoh seperti KH Zainal Mustafa, KH Subchi Parakan, dan banyak lainnya menjadi martir dalam mempertahankan agama dan negara dari komunisme.

 

Namun menariknya, tidak ada catatan signifikan tentang tokoh habaib dari Klan Ba’alwi yang menjadi korban kekejaman PKI. Hal ini mengundang pertanyaan besar:

 

> Jika mereka adalah penjaga Islam dan pemuka umat, mengapa mereka tidak ada dalam daftar korban pemberontakan komunis?

 

Jawaban yang mungkin: karena beberapa dari mereka justru berada di pihak yang bersekutu dengan PKI, baik secara ideologis maupun praktis.

 

*Dari HTI hingga Neo-Fatimiyah?*

Pasca era Reformasi, geliat politik sebagian anggota Klan Ba’alwi kembali menguat. Mereka masuk dalam berbagai simpul gerakan Islam transnasional seperti HTI dan simpatisan FPI. Narasi yang dibangun kadang bersinggungan dengan konsep “khilafah” atau bahkan mimpi ideologis tentang kebangkitan “Neo-Daulah Fatimiyah” yang terinspirasi dari sejarah Syiah Ismailiyah di Timur Tengah.

 

Meski tidak semua anggota Klan Ba’alwi terlibat, namun eksistensi simbolik mereka di tengah gerakan politik keagamaan transnasional tidak dapat dinafikan.

 

*Kesimpulan: Jangan Tertipu oleh Narasi Keturunan*

Kita diajarkan untuk menilai seseorang dari akhlaknya, kontribusinya, dan keilmuannya—bukan dari klaim silsilah yang tak bisa dibuktikan. Apalagi jika klaim itu digunakan untuk membangun otoritas sosial-politik yang berpotensi menimbulkan perpecahan, radikalisme, hingga manipulasi sejarah bangsa.

 

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila, kita harus waspada terhadap klaim-klaim yang tidak berdiri di atas ilmu pengetahuan dan akal sehat. Apalagi jika klaim itu ternyata menjadi bagian dari strategi dominasi ideologis dan politik yang justru merusak tatanan bangsa.

*Referensi:*

Imaduddin Utsman al Bantani, Penelitian Genealogi Klan Ba’alwi

Prof. Dr. Manachem Ali, Kajian Filologis Manuskrip Silsilah Hadramaut

Dr. Sugeng Sugiarto, Haplogrup dan Penelusuran Keturunan Nabi

Dr. Michael Hammer, University of Arizona, Y-Chromosome and Human Ancestry

Data Sejarah Parlemen RI dan catatan keterlibatan politik PKI

Prof. Dr. Anhar Gonggong, Sejarah Sosial Politik Islam Indonesia

 

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *