Jejak Panjang FPI dan Bibit Radikalisme yang Tersisa
*Dari Laskar Jalanan hingga Organisasi Terlarang Negara*
Front Pembela Islam (FPI) resmi berdiri pada 17 Agustus 1998 di Pondok Pesantren Al-Umm, Ciputat, Tangerang Selatan. Organisasi ini digagas oleh sejumlah tokoh dari kalangan habaib, dengan nama Habib Rizieq Shihab sebagai figur utama. Dalam waktu singkat, FPI menjelma menjadi salah satu ormas yang mencolok di ruang publik, terutama lewat aksi-aksi jalanannya.
FPI awalnya dilibatkan dalam pengamanan Sidang Istimewa MPR November 1998 sebagai bagian dari PAM Swakarsa. Dalam konteks itu, mereka berperan sebagai kekuatan sipil yang mendukung stabilitas politik pasca-Soeharto.
Namun, seiring waktu, FPI dikenal luas lewat aksi-aksi “sweeping” yang mengatasnamakan penegakan moral Islam. Beberapa kelompok menyebutnya sebagai bentuk hisbah, sebuah istilah dalam Islam untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Tapi pengamat menilai tafsir hisbah yang digunakan FPI kerap tidak selaras dengan substansi ajaran Islam yang mengedepankan hikmah dan pendekatan persuasif.
*Organisasi yang Tumbuh Bersama Ketegangan*
Di sejumlah kesempatan, FPI mengambil posisi berseberangan dengan kelompok Islam moderat dan pemerintah. FPI terlibat dalam demonstrasi besar, bahkan sempat menyampaikan keinginan mengganti sistem negara. Tokoh-tokohnya pun kerap terekam membuat pernyataan kontroversial, termasuk terhadap para ulama tradisionalis seperti Gus Dur hingga keluarga Walisongo. Sikap yang menyinggung ini menuai kecaman dari berbagai kalangan.
Tidak sedikit pula simpatisan FPI yang belakangan diketahui terlibat dalam aktivitas ekstremis. Pada awal 2021, Densus 88 menangkap 26 orang terduga teroris dari Makassar dan Gorontalo—19 di antaranya disebut pernah aktif di FPI. Temuan ini memperkuat argumen pemerintah untuk membubarkan organisasi tersebut secara resmi pada 30 Desember 2020 melalui Surat Keputusan Bersama enam institusi negara.
Sejumlah bekas anggota FPI juga tercatat kemudian bergabung dengan kelompok-kelompok radikal seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), terutama pasca-pecahnya konflik internal mengenai sikap organisasi terhadap ISIS. Euforia terhadap ISIS pada 2015 sempat menjadi pemantik migrasi ideologis sebagian anggota FPI yang merasa organisasi tak lagi cukup ekstrem.
*Celah dalam Sistem Rekrutmen dan Ideologi*
Pengamat menyebut, FPI memiliki kekurangan dalam melakukan kontrol ideologis di internal organisasinya. Dalam berbagai kesempatan, ditemukan pola propaganda berbasis glorifikasi garis keturunan atau nasab, yang secara sosiologis bisa memunculkan paham kastanisasi dan eksklusivisme. Pemanfaatan nama Nabi SAW dan simbol agama digunakan dalam narasi politik, termasuk dalam upaya menggalang dukungan di akar rumput.
Kondisi ini bisa menjadi pintu masuk bagi pemahaman keagamaan yang menyimpang dari prinsip moderasi. Ketika ajaran Islam dijadikan justifikasi untuk mengkafirkan sesama atau mengabaikan konstitusi negara, maka ruang demokrasi yang selama ini terbuka justru digunakan untuk merusak nilai-nilai kebangsaan.
*Pertanyaan tentang Masa Depan*
Pembubaran FPI tentu bukan akhir dari cerita. Jejak digital dan budaya politik yang mereka wariskan masih hidup dalam sebagian kelompok. Ungkapan-ungkapan intoleran, seruan penggantian dasar negara, hingga glorifikasi kekerasan atas nama agama masih ditemukan di sejumlah kanal.
Kini, muncul pertanyaan: apakah FPI secara sadar membuka ruang bagi bibit radikalisme, atau sekadar gagal mengontrol arah gerakan mereka? Bagaimanapun, radikalisme tak muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh dalam celah frustrasi sosial, politik identitas, dan ketimpangan pemahaman keagamaan.
Pancasila sebagai konsensus dasar negara telah menjadi penyangga kebhinekaan Indonesia. Ketika ada kelompok yang bermaksud menggantinya dengan sistem khilafah atau ideologi lain, maka hal tersebut bukan lagi sekadar perbedaan pendapat—melainkan ancaman terhadap keberadaan Republik itu sendiri.
*Catatan redaksi:*
Artikel ini disusun berdasarkan referensi ilmiah dan jurnalistik termasuk tulisan Machfud Syaefudin, laporan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), serta kajian dari Tata Sukayat dan sejumlah sumber kredibel lain yang meneliti peran ormas dalam dinamika sosial-politik Indonesia.