Meluruskan Narasi Ayik Heriansyah (mantan aktivis HTI): Mengapa Isu Nasab Perlu Dibuka, Demi Kebenaran Sejarah dan Kejujuran Keagamaan

*Meluruskan Narasi Ayik Heriansyah (mantan aktivis HTI): Mengapa Isu Nasab Perlu Dibuka, Demi Kebenaran Sejarah dan Kejujuran Keagamaan*

 

Pernyataan Ayik Heriansyah yang menganggap polemik nasab sebagai isu yang tak penting dan mengada-ada, sejatinya perlu diluruskan secara ilmiah, historis, dan etis. Ini bukan soal identitas pribadi semata, melainkan berkaitan langsung dengan integritas sejarah Islam di Nusantara, martabat bangsa, dan kemurnian ajaran Rasulullah SAW dari eksploitasi simbolik oleh elite spiritual tertentu.

 

*1. Isu Nasab Jalan di Tempat? Justru Karena Ada yang Disembunyikan*

Selama hampir tiga tahun terakhir, isu ini terus mengemuka bukan karena sensasi, tetapi karena adanya resistensi terhadap upaya keterbukaan. Penghindaran diskusi oleh sejumlah tokoh justru mengindikasikan ada kepentingan yang ingin dilindungi.

Dalam kajian sosiologi, fenomena ini disebut cultural hegemony oleh Antonio Gramsci—yakni dominasi kelompok tertentu melalui kontrol simbolik dan budaya. Di sini, klaim garis keturunan digunakan sebagai alat legitimasi sosial dan keagamaan, meski tidak didukung oleh bukti saintifik atau historis yang valid.

> “Kebenaran yang ditutupi akan tetap mencari jalannya sendiri. Dan masyarakat berhak tahu.”

*2. Minoritas yang Bersuara, Mayoritas yang Diam: Awal Perubahan Besar*

Tudingan bahwa hanya “segelintir orang” yang mempertanyakan keabsahan nasab tidak otomatis melemahkan validitasnya. Sebab, dalam sejarah ilmu pengetahuan, perubahan besar seringkali dimulai dari mereka yang berani bersuara meski menjadi minoritas.

Dalam The Structure of Scientific Revolutions, filsuf ilmu Thomas S. Kuhn menyebutkan bahwa setiap revolusi ilmiah dimulai dari penemuan anomali—ketidaksesuaian dalam sistem lama—yang diangkat oleh ilmuwan non-mainstream.

Tokoh seperti KH Imaduddin Utsman al Bantani, Dr. Sugeng Sugiarto (ahli genetika), Prof. Dr. Manachem Ali (filolog), hingga Dr. Michael Hammer (pakar genetika populasi dari University of Arizona), semuanya menyuarakan isu ini berdasarkan data sejarah, manuskrip, dan bukti DNA haplogroup, bukan asumsi pribadi.

*3. Diamnya PBNU dan Revisi Sepihak atas Sejarah Tokoh NU*

Sebagian kalangan menganggap diamnya PBNU sebagai tanda tidak pentingnya isu ini. Padahal, diamnya institusi besar seringkali lahir dari kehati-hatian, bukan pengabaian. Lebih memprihatinkan, sejarah NU justru menjadi sasaran revisi sepihak oleh pihak-pihak yang mengklaim keturunan Ba’alwi.

 

Contoh nyata:

  • KRT Sumadiningrat, tokoh Jawa Yogyakarta, tiba-tiba diberi embel-embel “bin Yahya”.
  • Mbah Malik, cicit Pangeran Diponegoro, juga diganti nasabnya dalam narasi tertentu.

Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi bentuk distorsi sejarah yang melukai warisan intelektual dan spiritual bangsa.

*4. Ketika Simbol Kesucian Dijadikan Alat Kuasa: Penipuan Spiritualitas dan Sejarah*

Dalam literatur hukum pidana internasional dan etika keagamaan, klaim identitas suci tanpa dasar disebut sebagai religious imposture—pemalsuan identitas spiritual. Ini berbahaya karena bisa digunakan untuk:

Mendulang keuntungan material dan sosial melalui simbol keturunan Nabi.

Menjual “kesucian” melalui label “habib” yang digunakan dalam dakwah, pernikahan, bahkan praktik yang menyerupai mut’ah terselubung.

Mendistorsi sejarah nasional dengan mengklaim bahwa Indonesia diwarisi oleh “Awliya Tarim”, dan menjiplak tokoh lokal sebagai bagian dari klan mereka.

 

Dalam Islam, peringatan keras diberikan terhadap pemalsuan identitas:

> “Barangsiapa mengaku-ngaku sebagai anak dari selain ayahnya, maka surga haram baginya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

 

*5. Mengapa Harus Dibuka? Karena Ini Soal Hak Umat dan Kemuliaan Rasulullah SAW*

Isu nasab bukan sekadar ranah pribadi, tapi berdampak besar pada:

Kejujuran sejarah Islam Nusantara, agar tidak dimonopoli satu klan tertentu.

Kemurnian identitas Rasulullah SAW, yang tidak boleh diklaim seenaknya oleh pihak yang tidak bisa membuktikannya secara valid.

 

Martabat bangsa Indonesia, yang semestinya tidak tunduk pada simbol-simbol asing yang tidak terbukti keasliannya.

*6. Ketika Muhammadiyah, Al Irsyad, dan Lainnya Terlihat Diam*

Ketiadaan respons terbuka dari organisasi Islam besar bukan berarti menyetujui. Banyak tokoh di dalamnya sebenarnya menyadari persoalan ini, namun menahan diri karena alasan maslahat. Namun, sejarah telah membuktikan: diamnya intelektual adalah pembiaran terhadap kerusakan yang lebih besar.

 

Dalam etika tasawuf, seorang alim tidak hanya berzikir, tetapi juga menyuarakan kebenaran dengan adab dan keberanian. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, misalnya, dikenal bukan hanya sebagai sufi, tetapi juga pengkritik keras terhadap penyimpangan elit agama pada masanya.

🔍 *Penutup: Menjaga Sejarah, Membela Kebenaran*

Isu nasab bukan soal iri, dengki, atau adu status. Ini menyangkut:

  • Kejujuran sejarah dan kehormatan ilmiah.
  • Akidah umat Islam agar tidak tersesat oleh simbol palsu.
  • Hak Rasulullah SAW dari klaim yang tidak sah.

 

Membuka tabir kebohongan bukan tindakan permusuhan, melainkan bentuk cinta: kepada Rasulullah, kepada umat Islam, dan kepada bangsa Indonesia. Sebab, kebohongan berjubah kesucian jauh lebih berbahaya daripada kebohongan biasa.

 

> “Dan katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang mau beriman, silakan; dan barangsiapa yang ingkar, silakan juga.”

(QS. Al-Kahfi: 29)

*Referensi:*

  • Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (1971)
  • Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (1962)
  • Michael Hammer (University of Arizona), Human Y-Chromosome Research on Haplogroup J1
  • Dr. Manachem Ali (Universitas Airlangga), Studi Filologis Manuskrip Sejarah
  • Sugeng Sugiarto, Peneliti Genetika dan Haplogroup Arab-Indonesia
  • KH Imaduddin Utsman al Bantani, Penelitian Kritik Nasab Klan Ba’alwi




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *