*Nasab dan Kebenaran: Sebuah Tinjauan Kritis Berbasis Ilmu dan Akhlak*
Dalam salah satu tausiyah yang penuh makna, KH. Marzuki Mustamar pernah menyampaikan dengan gaya khas beliau:
“Kalau ingin ahli membuat cilok, jangan belajar ke kyai, belajarlah ke tukang cilok.”
Kalimat ini adalah perumpamaan mendalam tentang pentingnya merujuk kepada ahlinya dalam setiap bidang ilmu. Jika ingin belajar memasak, belajarlah kepada koki. Jika ingin belajar ilmu nasab, sejarah, dan genetika, maka belajarlah kepada para ahli dalam bidang tersebut — bukan sekadar kepada tokoh agama yang tidak memiliki kompetensi di ranah itu.
*Nasab: Ilmu yang Serius, Bukan Keyakinan Buta*
Nasab atau silsilah keturunan bukan hanya warisan budaya, tetapi merupakan disiplin ilmu tersendiri (‘ilm al-Ansab) yang sejak dahulu digunakan untuk meneliti kejelasan garis keturunan. Dalam Islam, nasab memiliki kehormatan tinggi, terutama jika dikaitkan dengan Rasulullah Muhammad SAW.
Namun, ketika ada sekelompok orang atau klan yang mengklaim sebagai keturunan Rasulullah SAW — tetapi tanpa bukti sejarah, filologis, maupun genetis yang kuat, dan bahkan sikap serta perilaku sosialnya jauh dari akhlak Rasulullah — maka kritik atas klaim tersebut adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, bukan kebencian.
*Pendekatan Ilmiah: Sejarah, Filologi, dan Genetika*
Berbagai penelitian dari ahli sejarah, filolog, hingga pakar genetika seperti Dr. Michael Hammer (Universitas Arizona, USA) dan Dr. Sugeng Sugiarto (genetika Indonesia) telah menunjukkan bahwa klaim keturunan harus bisa dibuktikan dengan konsistensi historis dan bukti ilmiah, seperti pencocokan haplogroup DNA yang digunakan dalam genealogi modern.
Bahkan KH Imaduddin Utsman al Bantani dalam tesis ilmiahnya menyajikan data dari lintas disiplin — termasuk ilmu perilaku dan sejarah lokal — yang menunjukkan ketidaksesuaian antara klaim keturunan Ba’alawi dengan karakteristik ilmiah dari nasab Rasulullah SAW.
*Ulama Tasawuf: Keturunan Nabi Itu Harus Mencerminkan Akhlaknya*
Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumiddin, menjelaskan bahwa kemuliaan nasab sejati terletak pada akhlak dan amal, bukan semata garis keturunan. Bahkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
“Orang yang paling mulia adalah yang paling bertakwa, bukan yang paling dekat nasabnya.”
Maka, jika ada yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah SAW, tetapi gemar memaki, memecah belah, mencaci para ulama lokal, dan tidak menunjukkan adab Islami, maka pantas dipertanyakan sejauh mana kebenaran nasabnya, karena akhlak adalah cermin utama nasab Rasulullah SAW.
*Menjaga Marwah Islam, Bangsa, dan Ulama Nusantara*
Kita bukan sedang menghina siapa pun, tapi justru sedang berjuang untuk menjaga kemurnian sejarah Nabi SAW, serta membela kehormatan bangsa dan ulama-ulama Nusantara, seperti Wali Songo, para Kyai NU, dan tokoh-tokoh lokal yang sering dilupakan atau bahkan dihapus jejaknya oleh klaim-klaim historis sepihak.
Jika hari ini ada orang-orang yang dengan mudahnya mengklaim “keturunan Nabi” untuk mencari legitimasi sosial dan politik, tanpa disertai bukti ilmiah dan adab, maka umat berhak mempertanyakannya — dengan cara yang cerdas, ilmiah, dan tetap dalam koridor etika.
*Penutup: Gunakan Akal, Jaga Akhlak, Tuntut Kebenaran*
Kita adalah umat yang diajarkan oleh Allah SWT untuk berpikir:
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya…”
(QS. Al-Isra: 36)
Maka, dalam urusan nasab — apalagi yang dikaitkan dengan Nabi SAW — wajib hukumnya bagi kita untuk kritis dan ilmiah, tidak asal menerima klaim tanpa dasar.
Mengkritik klaim palsu bukan berarti membenci. Justru sebaliknya — itu adalah bentuk cinta kepada Nabi SAW, pembelaan terhadap sejarah, dan peneguhan jati diri bangsa.
Tetap semangat menegakkan kebenaran, dengan ilmu, akhlak, dan cinta tanah air.