Sanggahan terhadap Tulisan KH. Ma’ruf Khozin tentang Penetapan Nasab dengan Syuhrah wal Istifadhah

*Sanggahan terhadap Tulisan KH. Ma’ruf Khozin tentang Penetapan Nasab dengan Syuhrah wal Istifadhah*

Link tulisan KH. Ma’ruf Khozin : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=9192309050797002&id=100000539955543&mibextid=oFDknk&rdid=xdL85ZxwrLYz0lUR#

 

Tulisan KH. Ma’ruf Khozin berjudul “Mengembalikan Nasab Ke Aturan Hadis dan Fikih” mencoba membenarkan klaim nasab Ba’alawi dengan menggunakan konsep syuhrah (ketenaran) dan istifadhah (informasi yang tersebar luas). Dalam kajian nasab, argumentasi ini bermasalah karena mengabaikan metode ilmiah modern yang lebih objektif, seperti penelusuran dokumen sejarah yang kredibel, filologi, dan analisis DNA genetik. Berikut ini adalah sanggahan ilmiah terhadap klaim-klaimnya:

 

*1. Kesalahan dalam Menggunakan Hadis sebagai Dasar Penetapan Nasab*

Ma’ruf Khozin mengutip hadis dari Sahih Al-Bukhari tentang Nabi Muhammad SAW dan Abu Salamah yang disusui oleh Tsuwaibah, lalu menyimpulkan bahwa nasab bisa ditetapkan berdasarkan penyebaran informasi yang luas.

*Sanggahan:*

Hadis tersebut tidak membahas metode penetapan nasab, tetapi hanya menyebut informasi yang umum diketahui oleh orang-orang saat itu.

Persusuan adalah kejadian yang terjadi dalam waktu singkat dan biasanya memiliki saksi langsung, berbeda dengan nasab yang mencakup ratusan tahun dan membutuhkan bukti tertulis yang valid.

Kesaksian masyarakat tidak bisa menjadi bukti absolut dalam ilmu nasab, apalagi jika ada faktor kepentingan politik, ekonomi, atau sosial yang mempengaruhi persepsi masyarakat.

 

*Fakta Ilmiah:*

Imam Ibnu Hazm dalam Jamhara Ansab Al-‘Arab menekankan bahwa nasab harus dibuktikan dengan silsilah yang jelas dan dokumen tertulis yang bisa diverifikasi.

Penelitian filologi modern menunjukkan bahwa nama “Ubaidillah bin Ahmad” baru muncul ratusan tahun setelah masa hidupnya, sehingga klaim Ba’alawi tentang garis keturunan ini tidak memiliki dasar sejarah yang valid.

 

*2. Ijmak Ulama tentang Penetapan Nasab melalui Istifadhah Adalah Klaim yang Tidak Mutlak*

Ma’ruf Khozin mengutip Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa ulama telah berijmak menerima penetapan nasab berdasarkan istifadhah.

*Sanggahan:*

Ijmak dalam hal ini tidak bersifat mutlak. Banyak ulama yang mensyaratkan bukti tertulis atau saksi yang adil untuk mengesahkan nasab, terutama dalam kasus nasab yang berkaitan dengan hak istimewa seperti klaim keturunan Rasulullah SAW.

Istifadhah bukan bukti ilmiah yang kuat karena informasi yang tersebar luas bisa saja berasal dari propaganda, kesalahan pencatatan, atau bahkan manipulasi sejarah.

Jika istifadhah dianggap cukup, maka setiap orang bisa mengaku keturunan siapa saja selama ada narasi yang berkembang di masyarakat.

 

*Fakta Ilmiah:*

Kitab nasab klasik yang kredibel seperti “Ansab Al-Asyraf” karya Al-Baladzuri dan “Al-Muntaqilah” karya Ibnu Durayd tidak mencantumkan garis keturunan Ba’alawi dari Nabi Muhammad SAW.

Penelitian KH Imaduddin Utsman al Bantani menunjukkan bahwa nasab Ba’alawi tidak memiliki silsilah yang bersambung ke Imam Alawi bin Ubaidillah, dan Ubaidillah sendiri tidak pernah tercatat dalam dokumen sejarah sezamannya.

*3. Kesalahan dalam Menggunakan Fikih untuk Penetapan Nasab*

Ma’ruf Khozin mengutip kitab Al-Majmu’ yang menyatakan bahwa nasab bisa ditetapkan melalui kabar yang tersebar luas (istifadhah).

 

*Sanggahan:*

Kaidah ini hanya berlaku dalam kondisi di mana tidak ada alat verifikasi lain. Pada zaman dulu, mungkin sulit untuk memverifikasi nasab dengan bukti tertulis, tetapi hari ini kita memiliki metode yang lebih akurat seperti DNA dan kajian dokumen sejarah.

Dalam kasus Ba’alawi, sudah ada bukti ilmiah bahwa mereka bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, yaitu melalui penelitian genetik haplogroup.

 

Dalam Islam, nasab memiliki konsekuensi hukum yang berat, seperti dalam hukum waris dan kehormatan keluarga. Tidak mungkin Islam membiarkan penetapan nasab hanya berdasarkan “katanya” tanpa bukti kuat.

 

*Fakta Ilmiah:*

Analisis DNA oleh para ahli seperti Dr. Michael Hammer dan Dr. Sugeng Sugiarto menunjukkan bahwa garis keturunan Rasulullah SAW berasal dari haplogroup J1, sedangkan Ba’alawi memiliki haplogroup G, yang berarti mereka tidak berasal dari jalur keturunan Nabi Muhammad SAW.

 

Dalam hukum Islam, nasab harus ditetapkan dengan saksi dan bukti tertulis, bukan sekadar cerita yang tersebar luas. (Fiqh Islam wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili).

*4. Ketiadaan Catatan Sayid Ubaidillah Selama 550 Tahun: Bukan Hal Sepele*

Ma’ruf Khozin menanggapi kritik bahwa Sayid Ubaidillah tidak memiliki catatan selama 550 tahun dengan membandingkannya dengan para perawi hadis yang juga tidak memiliki catatan sezaman.

 

*Sanggahan:*

Ini adalah perbandingan yang keliru. Ilmu hadis memiliki metode verifikasi yang ketat (ilmu rijal), di mana setiap perawi harus memiliki silsilah keilmuan yang jelas, reputasi yang kuat, dan disebut dalam kitab-kitab biografi perawi.

Dalam ilmu nasab, seseorang harus memiliki silsilah yang bisa dilacak dari sumber terpercaya. Jika ada celah selama 550 tahun, maka klaim nasab tersebut menjadi sangat lemah dan mencurigakan.

 

*Fakta Ilmiah:*

Ali Al-Sakran, yang disebut sebagai sumber utama nasab Ba’alawi, hidup pada abad ke-9 H, sementara Ubaidillah diklaim hidup pada abad ke-4 H. Jarak 500 tahun tanpa sumber sezaman jelas membuat klaim ini tidak valid.

 

Profesor Manachem Ali, seorang filolog dari Universitas Airlangga, menegaskan bahwa tidak ada bukti filo8logis yang menghubungkan nasab Ba’alawi dengan Nabi Muhammad SAW secara autentik.

*Kesimpulan: Klaim KH. Ma’ruf Khozin Tidak Berdasarkan Bukti Kuat*

Ma’ruf Khozin berusaha membenarkan klaim nasab Ba’alawi dengan mengandalkan syuhrah wal istifadhah, tetapi ini tidak bisa dijadikan dasar ilmiah untuk menetapkan nasab.

 

*Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa:*

 

*1. Nasab harus dibuktikan dengan dokumen sejarah yang valid, bukan sekadar kabar yang tersebar luas.*

*2. Kajian filologi menunjukkan bahwa Ubaidillah bin Ahmad tidak tercatat dalam sumber sejarah yang kredibel.*

*3. Analisis DNA membuktikan bahwa garis keturunan Nabi Muhammad SAW berasal dari haplogroup J1, sementara Ba’alawi berasal dari haplogroup G, yang berarti mereka bukan keturunan Nabi saw*

*4. Tidak ada kitab nasab kuno yang menyebutkan keberadaan Ubaidillah secara autentik.*

 

Oleh karena itu, klaim KH. Ma’ruf Khozin bahwa nasab Ba’alawi dapat ditetapkan hanya dengan syuhrah wal istifadhah adalah kesalahan besar yang menyesatkan umat. Nasab adalah perkara serius dalam Islam yang harus didasarkan pada bukti yang kuat, bukan sekadar cerita turun-temurun tanpa verifikasi ilmiah.

 

*Akibat Membela Kebatilan: Ilmu Tidak Menyelamatkan dari Kebodohan*

*Dalil:*

  1. *Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:170):* “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.’ Mereka menjawab: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”
  2. *Hadis Rasulullah SAW:* “Apabila Allah menghendaki keburukan pada seseorang, maka Allah mencabut darinya ilmu. Lalu, setelah ilmu dicabut, ia menjadi bodoh.” (HR. Ahmad)

Kyai Ma’ruf Khozin adalah seorang yang memiliki ilmu agama cukup tinggi, terbukti dengan kedudukannya di Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU. Namun, ilmu seseorang tidak menjamin kebijaksanaan dan kecerdasannya apabila ia membela sesuatu yang telah terbukti sebagai kebatilan.

Seperti yang telah dipaparkan oleh penelitian ilmiah dari KH Imaduddin Utsman al Bantani dan didukung oleh para ahli dalam bidang sejarah, filologi, dan genetika, klaim bahwa klan Ba’alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW tidak memiliki dasar ilmiah. Faktanya, penelitian genetika menunjukkan bahwa klan Ba’alwi memiliki haplogroup G, bukan J1, yang merupakan haplogroup yang ditemukan pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, secara ilmiah dan akademik, klaim Ba’alwi telah terbantahkan.

Namun, Ma’ruf Khozin tetap memilih untuk berdiam diri atas kebenaran ini dan justru aktif dalam lingkaran yang membela klan Ba’alwi. Dalam berbagai diskusi di media sosial, ia sering terlihat berinteraksi dengan tokoh-tokoh seperti Mukibin, Fahrur Rozy, dan Bucory al-Araby, yang dikenal sebagai pembela ekstrem klan Ba’alwi. Sayangnya, diskusi mereka lebih sering berisi caci maki, ghibah, dan upaya membusukkan nama KH Imaduddin, alih-alih menggunakan dalil ilmiah yang kuat.

Fenomena ini sangat ironis. Sebagai seorang yang dianggap memiliki ilmu agama, seharusnya Ma’ruf Khozin bersikap objektif, santun, dan berpegang pada kebenaran. Namun, justru ia mengikuti arus kepentingan tertentu dan mengorbankan integritas akademiknya. Sikap ini bukan hanya mencoreng namanya sebagai seorang ilmuwan agama, tetapi juga menurunkan derajatnya di hadapan publik. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, ilmu tanpa petunjuk Allah tidak akan membawa manfaat, dan justru dapat membuat seseorang jatuh dalam kebodohan.

Perbedaan mendasar antara Mukibin (pembela kebatilan klan ba’alwi) dan Mukimad (pembela kebenaran dengan dasar ilmiah tesis Kyai Imaduddin) sangat jelas dalam kasus ini. Mukimad, yang diwakili oleh KH Imaduddin, berdiri di atas ilmu, data, dan analisis ilmiah yang objektif. Sedangkan Mukibin, seperti Ma’ruf Khozin dan kelompoknya, memilih membela klaim yang telah terbukti keliru dan menggunakan metode penghinaan serta propaganda untuk mempertahankan argumen mereka.

Maka, betapapun tinggi ilmu seseorang, jika ia memilih membela kebatilan, derajatnya akan jatuh. Sebab, *ilmu tanpa kebenaran hanya akan menyesatkan pemiliknya, dan membela kebohongan hanya akan menjadikan seseorang tampak bodoh di hadapan publik.*




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *