*Siapa yang Mengurus Jenazah Sang Pecinta?*
Dalam ruang keagamaan kita hari ini, sering muncul satu fenomena menarik: segelintir orang begitu rela memberikan totalitas pembelaan pada tokoh atau kelompok tertentu yang mereka anggap istimewa—bahkan melebihi batas-batas nalar kritis dan norma syariat Islam yang mengedepankan keadilan dan persaudaraan.
Kita menyaksikan bagaimana sebagian kelompok mempertahankan dengan segenap tenaga kehormatan tokoh-tokoh berlabel “habib”, khususnya dari satu garis keturunan yang diklaim sebagai dzuriyah (keturunan) Nabi Muhammad SAW. Namun ironisnya, pembelaan itu kerap dibumbui sentimen tak berdasar, kultus individu, bahkan hujatan terhadap sesama Muslim yang mempertanyakan atau memiliki sudut pandang berbeda.
*Apakah ini warisan dari adab Islam yang sesungguhnya?*
Tak jarang, sebagian dari mereka mudah melabeli sesama Muslim pribumi dengan sebutan seperti “sesat”, “tidak beradab”, bahkan “kafir”—hanya karena berbeda pandangan soal status genealogis tokoh-tokoh tertentu. Padahal, keberagaman pendapat dalam Islam adalah sesuatu yang wajar dan dihargai, selama disampaikan dengan adab, ilmu, dan dalil.
Lalu, muncul pertanyaan penting: siapa yang benar-benar hadir saat para pecinta ini jatuh dan pergi?
Dalam sejumlah kejadian yang ramai diperbincangkan di media sosial, kita melihat ironi. Ketika seorang pendukung garis keras wafat, yang hadir mengurus jenazah—memandikan, menyolatkan, dan membacakan tahlil—bukanlah mereka yang sering dielu-elukan selama hidupnya. Justru para kiai dan tokoh lokal—yang selama ini mungkin tak dianggap penting, bahkan dikritik karena berbeda pandangan—yang datang dan tulus mengurus proses pemakamannya.
Fenomena ini membuka mata kita bahwa dalam realitas sosial-keagamaan, yang benar-benar hadir di saat akhir bukanlah mereka yang populer di media atau di atas mimbar, melainkan mereka yang dekat dan membumi. Kiai kampung, guru ngaji, dan masyarakat lokallah yang tetap memikul tanggung jawab sosial dan spiritual—tanpa pamrih, tanpa nama.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menghakimi siapa pun, melainkan sebagai ajakan untuk kembali kepada nilai-nilai keseimbangan, rasionalitas, dan akhlak. Pembelaan terhadap tokoh atau kelompok adalah hal yang sah, selama tidak melampaui batas akal sehat, tidak menimbulkan kebencian, dan tidak menyulut perpecahan di antara sesama Muslim.
Sudah saatnya kita mengevaluasi: apakah sikap keberagamaan kita dibangun atas ilmu dan kasih sayang, atau semata-mata atas fanatisme dan simbol semu?
Karena kelak, bukan gelar, nasab, atau pengkultusan yang menolong kita—tetapi amal, keikhlasan, dan siapa yang benar-benar hadir saat kita tak lagi berdaya.
WaAllahu a‘lam.
Ilmu pengetahuan tetap menjadi landasan dalam memutuskan apa yg diyaqini benar karna Allooh menetapkan hal itu, terbukti dalam surat al’alaq satu sampai lima itu mengedepankan ilmu utk menggapai sesuatu, shg Nabi besar Muhammad Saw, bersabda, barang siapa menghendaki dunia dan akhirat maka raihlan dg ilmu,…ini yg masih harus secara intensif disampakan PD umat Islam🙏🙏🙏 bahkan ayat itu pertama kali Allooh turunkan pada Baginda Nabi besar Muhammad Saw.🙏🙏🙏