*Tragedi Klaim Nasab Palsu: Kapitalisasi Spiritualitas dan Drama Mubahalah*
Oleh Redaksi Walisongobangkit.com
03 Juni 2025
*Di balik kabut keturunan suci, terselip praktik kapitalisme spiritual. Sebuah kelompok keturunan berhaplogroup G, yang terindikasi berasal dari Yahudi Ashkenazi, diduga membangun struktur sosial keagamaan di atas fondasi klaim nasab yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.*
Drama yang dimainkan dalam panggung ini tidak ubahnya sebuah teater spiritualisme kolonial. Dalam narasi besar “nasab mulia”, terbentuklah suatu sistem keagamaan yang menekankan loyalitas, kepatuhan, dan pembenaran tanpa ruang dialog ilmiah. Ironisnya, ketika klaim nasab ini dikritisi berdasarkan kajian sejarah, filologi, dan genetika, respon mereka bukanlah argumentasi ilmiah—melainkan intimidasi simbolik seperti mubahalah.
*Pertanyaan Kritis yang Perlu Diajukan Publik*
- *Jika klaim nasab itu benar*, mengapa tidak dihadapi sendiri dalam forum mubahalah, melainkan diwakilkan oleh para pengikut?
- *Mengapa yang muncul justru praktik perwakilan semacam perang proksi spiritual*, alih-alih keterbukaan ilmiah atau sikap dewasa dalam diskursus publik?
- *Apakah ini bentuk ketakutan menghadapi kebenaran, yang dibungkus dengan retorika religius?*
*Mubahalah sebagai Alat Tekanan Psikologis*
Praktik mubahalah seharusnya menjadi bentuk pernyataan iman tertinggi dalam Islam, tetapi dalam kasus ini justru digunakan sebagai alat intimidasi psikologis. Ironisnya, mereka yang paling lantang menyuarakan mubahalah bukanlah para pemimpin atau elite kelompok, melainkan para pengikut yang diminta tampil di garis depan.
Model seperti ini memperlihatkan *ketimpangan spiritual*—di mana elite duduk nyaman di kursi kehormatan, sementara pengikutnya disiapkan sebagai perisai manusia dalam pertarungan legitimasi.
*Kapitalisme Mistik dan Dagang Nasab*
Nasab dalam kasus ini tampaknya telah berubah menjadi komoditas spiritual. Sama seperti perdagangan kolonial di masa lalu, ‘produk’ yang dijual adalah klaim garis keturunan; pasarnya adalah umat yang haus legitimasi religius; dan keuntungannya adalah kekuasaan simbolik serta dukungan finansial.
Jika nasab adalah saham, maka krisis kepercayaan yang muncul akibat terbongkarnya klaim tersebut dapat dianggap sebagai “kehancuran bursa spiritual”.
*Kritik terhadap Pola Eksploitasi Emosional*
Daripada menjawab dengan data sejarah atau analisa DNA, sebagian kelompok justru menggunakan emosi sebagai senjata: siapa yang mengkritik dituduh kafir, sesat, bahkan dilaknat. Ini menggantikan rasionalitas dengan tekanan emosional, sebuah pola yang bisa disebut sebagai jihad emosional, bukan jihad intelektual.
Dalam struktur ini, ada pembelahan jelas:
- *Elite* yang tidak pernah tampil dalam mubahalah,
- *Pengikut* yang dikerahkan sebagai representasi berani,
- *Publik* yang disuguhi narasi absolut tanpa transparansi ilmiah.
*Ironi Seruan Laknat: Ketika Ujian Takut Diikuti*
Ketika seseorang berseru, “Mari kita bermubahalah untuk menguji siapa yang berdusta!”, yang seharusnya hadir adalah keberanian dan kejujuran. Namun ketika mubahalah menjadi alat gertak semata, tanpa keberanian tampil langsung dari pihak yang mengklaim kebenaran, yang muncul justru pertanyaan: siapa sebenarnya yang takut menghadapi kebenaran?
*Refleksi Publik: Kapan Kita Menghentikan Pembohongan?*
Fakta-fakta dari para ahli sejarah, filologi, dan genetika menunjukkan bahwa klaim keturunan dari tokoh besar sejarah tidak bisa sekadar dipercayai atas dasar pengakuan atau silsilah tanpa sumber primer yang kuat.
Kapitalisme spiritual semacam ini harus dipertanyakan secara terbuka. Tidak ada ruang bagi dogma tak berdasar dalam masyarakat rasional. Jika ada klaim luar biasa, maka harus disertai pula dengan *bukti luar biasa* (extraordinary claims require extraordinary evidence).
*Penutup*
Masyarakat perlu diberi ruang untuk berpikir, bertanya, dan mengevaluasi secara logis serta ilmiah—terutama ketika sebuah kelompok mengklaim posisi istimewa dalam tatanan sosial dan spiritual. Ketika kebenaran dikerdilkan oleh tekanan emosional, maka yang tersisa hanyalah ilusi kekuasaan atas nama agama.
“Mereka yang bermain dengan klaim palsu, cepat atau lambat akan ditelan kenyataan yang tak bisa mereka hindari.”